Murid-Murid Bermasalah Ingin Membuat Komunitas Bermasalah?
Murid-Murid Bermasalah Ingin Membuat Komunitas Bermasalah?
Prolog
Dalam kegelapan, cahaya dengan cepat menghilang. Saat ini, Willem sedang meluncur ke bawah tebing dalam yang seperti pintu menuju ke neraka. Satu-satunya cahaya yang dapat ia lihat hanyalah sinar merah yang meneranginya dari atas. Tepat di ujung tebing itu, seseorang berdiri menatap Willem. Wajah Willem mengernyit sedih ketika melesat.
Ketika ia terjatuh, suara ledakan keras terdengar diikuti dengan sejumlah besar debu serta asap yang berhembus.. Saat asap mulai mereda, di sana. Willem terbaring kaku di permukaan tanah yang sudah membentuk cekungan seperti bekas meteorit kecil yang menabrak bumi.
Kini cahaya sudah tidak lagi mencapainya dan semua yang ada di sekelilingnya menjadi hitam.
Matahari sudah berada tinggi di langit, cuaca hari ini sangat cerah. Bagi kebanyakan orang, hari ini adalah hari yang sangat cocok untuk berjalan-jalan maupun beristirahat.
Dan Nea vee Altina bukanlah pengecualian dalam pemikiran ini. Seorang gadis dengan rambut merah panjang, tergerai di punggungnya yang langsing, dan di atas rambutnya terdapat pita rambut putih yang menata rambutnya dengan rapih. Di bawah bulu matanya yang lentik, terdapat mata merah rubi yang memancarkan cahaya terang. Kulitnya sangat putih hampir transparan, bibirnya tipis, tingginya sekitar 165cm, dan dada yang sedang. Bisa dibilang tubuhnya yang ideal seperti tuan putri di cerita dongeng.
Dengan posisi terlentang menatap cahaya langit yang silau melalui sela-sela dedaunan pohon, ia merentangkan tangannya seperti ingin menggapai cahaya di depannya.
“Nea!”
Pada saat ia menikmati suasana cuaca yang cerah, sebuah seruan riang memanggilnya dari sampingnya.
Nea mengangkat tubuhnya dan berdiri selagi tangannya membersihkan bajunya dari rumput. Lalu dengan senyuman ringan ia berlari kecil dan membalas seruan yang memanggilnya:
“Iya.”
Ketika Nea berjalan berdampingan dengan teman perempuannya melewati lorong sekolah yang mepunyai pilar. Nea menerima tatapan kagum dari murid laki-laki. Para gadisnya tidak memberikan respon negatif, beberapa dari mereka ada yang memberikan respon positif atau memilih mengacuhkannya.
Nea tidak menghiraukannya, ia merespon dengan baik dan tersenyum manis sambil berjalan menuju kelasnya.
Sekolah ini adalah salah satu akademi sihir yang terkenal di dunia. Akademi Sihir Altheria adalah nama sekolah ini. Akademi sihir yang sangat terkenal karena banyak lulusan dari sekolah ini yang menjadi penyihir hebat, dan menerima banyak dukungan dari berbagai negara.
Sekolah ini terletak di bagian barat Kerajaan Altheria. Jarak dengan ibukota Altheria sekitar 3 hari dengan berjalan kaki, jarak yang cukup dekat membuat sekolah ini menerima perlindungan khusus dari Kerajaan Altheria.
Dan kita kembali ke Nea. Di sana, di dalam kelas. Nea duduk di atas kursi berwarna kopi dan di hadapannya terdapat meja persegi panjang dengan diameter sekitar 1,5m yang berwarna sama dengan kursi yang ia duduki. Di sebelahnya terdapat kursi kosong dan anak tangga yang menurun. Karena memang posisi Nea sekarang berada di paling jauh dari papan tulis.
Di setiap tiga anak tangga, di sisi kiri maupun kanan terdapat tiga meja yang sama seperti meja Nea. Kalau di hitung, di sana terdapat 4 lantai, 24 meja , dan 48 kursi. Jumlah yang banyak untuk satu kelas, juga di ujung kanan kelas terdapat pintu kayu geser untuk keluar maupun memasuki kelas.
Nea duduk dengan posisi sempurna. Punggungnya di jaga agar tetap tegak dan lurus, kedua tangannya berada di atas meja saling menyentuh.
“Selamat siang! Buka buku sihir kalian dan cari bab tiga tentang sihir pribadi.”
Seorang laki-laki paruh baya memasuki kelas setelah menggeser pintu dan memberi perintah dengan nada acuh tak acuh sembari berjalan menuju meja yang berada di depan papan tulis.
“Baik.”
“Hei, hei, kalian sudah mendengar isu itu?”
“Huh? Isu apa?”
“Di ujung timur sekolah ini, ada segel yang tidak bisa dihancurkan lo.”
“Beneran?”
“Iya, katanya sudah banyak orang yang mencoba menghancurkan segelnya … tapi mereka semua gagal.”
“Kamu sudah mencobanya?”
“Apa kau bercanda? Tentu saja aku tidak pernah mencobanya, bahkan penyihir peringkat A saja tidak bisa.”
Teman-teman perempuan Nea mengobrol.
“Nea, apa kamu mau mencobanya?”
Mendengar pertanyaan teman sekelasnya. Nea membelalakkan matanya terkejut dan menjawab:
“Huh? Ahhh, aku tidak terlalu tertarik.”
“Begitu, ya? Yah aku rasa segel itu tidak akan ada artinya jika berhadapan dengan Nea vee Altina.”
“Betul, hahahahaha.”
Mereka tertawa. Memang tidak ada yang lucu, akan tetapi Nea ikut tertawa dengan ekspresi wajah masam. Setiap jam istirahat teman sekelas Nea selalu mengerumuninya, itu karena Nea adalah sosok yang terkenal di sekolahnya. Mungkin teman-teman Nea terlihat perhatian dan baik hati, tapi sifat seperti itu sangat jarang di temui di sekolah ini. Lalu? Kenapa teman-teman Nea sangat perhatian dan baik hati kepadanya?
Jawabannya adalah tingkatan.
—————————————————————————————————————
“Haaahhh ….”
Nea menghela napas ringan. Sekolah telah usai, kini semua murid dapat kembali ke asramanya masing-masing atau bisa berjalan-jalan sampai jam malam tiba.
Nea berjalan sambil membawa buku-buku yang ia pinjam tadi dari perpustakaan selepas sekolah usai.
Sekolah sangat ribut yah, di kelas teman-teman sangat baik kepadaku … tapi kalau aku berada di tingkatan bawah, apa aku akan sedekat itu dengan mereka tidak ya ….
Nea berpikir sambil sesekali menghela napas.
——Hei, hei, kalian sudah mendengar isu itu?
——Di ujung timur sekolah ini, ada segel yang tidak bisa dihancurkan lo.
——Katanya sudah banyak orang yang mencoba menghancurkan segelnya … tapi mereka semua gagal.
Nea tiba-tiba mengingat percakapan dengan teman-temannya tadi. Sekarang ia merasa ingin mencoba mendatangi segel itu, ini memang bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Nea tadi.
Nea mengangkat kepalanya dan mempercepat langkah kakinya menuju arah timur sekolah selagi membawa buku-bukunya.
Di sana, terdapat hutan yang sangat gelap. Di ujung hutan itu dapat terlihat tebing yang sangat tinggi dan curam, kau tidak bisa menghitung ketinggiannya hanya dengan melihatnya saja.
Saat Nea melangkahkan kakinya maju, tiba-tiba saja tembok transparan membuatnya terlempar ke udara sejauh 5m.
“Kyaaa!!”
Saat Nea terjatuh ke permukaan tanah pada pantatnya, ia melihat bekas segel yang ada di hadapanya dan membeku.
“I … Ini.”
Di depan matanya, sebuah susunan lingkaran berpola rumit semerah darah muncul di hadapanya. Dia melihat pola-pola tersebut bersinar, ia berpikir kalau ini formasi sihir.
“Ini bukan sembarang formasi sihir, ini formasi sihir kuno … kenapa formasi sihir serumit ini ada di lingkungan sekolah tanpa sepengetahuan guru?”
Nea berujar dengan nada protes, matanya membelalak panik. Dia tahu ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya, tapi … Nea bukan orang yang mempedulikan itu. Ia berpikir kalau ini seperti sebuah tes dari guru. Karena jika dipikir lagi, mana mungkin formasi sihir serumit ini ada di lingkungan sekolah.
“Baiklah, aku akan mencobanya!”
Setelah menyatakan dengan percaya diri, Nea bangkit dan memejamkan matanya selagi kedua tangannya menyentuh formasi sihir itu.
Aku pasti bisa, aku sudah membaca formasi sihir semacam ini … Empat … Lima … Tidak, rapalan tujuh kalimat sudah cukup!
“Wahai roh yang mengendalikan api.”
Setelah Nea berucap begitu, dari telapak tangannya muncul formasi sihir kecil berwarna merah api dan tiap kalimat yang Nea ucapkan membuat formasi sihir yang berada di telapak tangannya melebar.
“Berkatilah aku dengan api sucimu. Dengan kekuatan yang aku terima darimu. Aku Nea vee Altina akan menghancurkan seluruh penghalang yang berada di hadapanmu.”
Kini formasi sihir Nea sudah selebar setengah dari ukuran segel, Nea masih memejamkan matanya, rambutnya yang merah ikut berkibar mengikuti gerakan angin yang berhembus ke atas.
“Dengan janji suci yang sudah kulakukan. Aku memintamu untuk menghancurkan penghalang yang berada dihadapanku. Sekarang berikanlah aku kekuatan yang besar. DISPEL!”
Formasi sihir tersebut semakin terang dan segera meluas hingga menyamai ukuran segel. Ketika segel itu merespon sihir Nea, formasi segel itu menyatu dan membuat cahaya merah terang. Cahaya tersebut menyelimuti langit, saat Nea menyadari posisinya, kalau ini belum cukup. Nea melanjutkan rapalan kalimatnya.
“Dan dengan api yang berada dalam tubuhku. Kuperintahkan kau untuk menghanguskan penghalang yang berada di depanku!”
Nea mengucapkan rapalan kalimat terakhirnya. Tubuhnya tiba-tiba mengeluarkan api, rambutnya yang berkibar ikut terbakar. Saat itu juga formasi sihirnya meledak.
Dalam sekejap, cahaya formasi sihir tadi menghilang. Digantikan dengan butiran kecil merah seperti embun yang naik turun.
“A-Aku berhasil?”
Seolah tidak percaya apa yang tadi ia lakukan. Matanya membelalak terkejut, bibirnya yang tipis terbuka. Dia masih membeku, ini pencapaian yang hebat. Bisa mengalahkan segel dengan formasi sihir kuno, itu sungguh pencapaian yang mengejutkan baginya.
“Ahahaha, baiklah. Sekarang aku akan masuk ke sana.”
Nea berkata dengan nada dan ekspresi ceria. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam hutan yang gelap.
Pohon-pohon yang berderet menjulang tinggi hampir menutupi langit dengan daunnya. Langit memang belum terlalu gelap, jadi masih ada pencahayaan di sana.
Entah sudah berapa menit ia berjalan lurus ke dalam hutan, kini ia merasakan aura yang tidak mengenakkan dari depan. Sebuah aura gelap dan berbahaya membuat instingnya berkata kalau ia tidak boleh melanjutkannya.
“Hmm hmm. Aku mengerti, aku harus menyelidikinya lebih dalam lagi.”
Nea menganggukan kepalanya setelah menyimpulkan apa yang akan ia lakukan. Dan pilihanya adalah melanjutkanya, sepertinya Nea tipe perempuan yang mudah penasaran atau mungkin saja dia memilih melanjutkan ini karena insting lainnya.
Srekk, Srek.
Sebuah suara seperti sesuatu yang melewati semak-semak membuat Nea waspada. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, matanya melirik kiri dan kanan mencari asal suara tersebut. Lalu Nea bertanya dengan nada takut-takut.
“Siapa itu?”
Walaupun Nea sudah bertanya, tetapi tidak ada jawaban. Suara itu semakin besar dan semakin dekat, kini sebuah bayangan muncul di depan Nea. Bayangan itu mendekat secara perlahan, sekali lagi Nea bertanya:
“Siapa itu?”
“…”
Masih tidak ada jawaban. Bibir Nea saling menekan satu sama lain sementara tangannya seakan bersiap menyerang bayangan itu. Beberapa saat kemudian, bayangan itu terjatuh sebelum menampakkan wujudnya. Nea sedikit panik dan entah kenapa ia berlari mendatangi bayangan itu.
Seorang laki-laki berambut hitam keunguan yang sedikit panjang memakai setelan serba hitam tertidur dengan posisi tengkurap. Nea membalikkan posisi laki-laki itu dan memeriksa tubuhnya.
“Jantungnya berdetak.”
Nea berkata begitu setelah mendekatkan telinganya pada dada si laki-laki.
“S … siapa?”
Laki-laki itu bertanya dengan nada yang hampir tidak terdengar dan sedikit membuka matanya. Mata yang berwarna ungu itu sedikit tajam dan dingin, tapi Nea menghiraukannya dan menjawab pertanyaan laki-laki itu dan mengangkatnya.
“Aku Nea, aku akan menolongmu. Namamu siapa?”
Nea menyambung percakapan agar membuat laki-laki itu tetap tersadar, ia mengalungkan tangan laki-laki itu ke lehernya dan perlahan membantunya berdiri.
“Na … ma … ku … Wi, Willem.”
Suaranya semakin tipis dan patah-patah hampir tidak terdengar.
“Willem, ya? Kalau begitu, aku akan membawamu ke sekolah bertahanlah.”
Nea berujar dengan nada serius.
Bukan hal aneh bagi Nea membantu seseorang yang tidak ia kenali, apa lagi dengan kondisi seperti Willem. Pasti tanpa pikir panjang Nea langsung membantunya tidak peduli dia siapa. Baginya membantu seseorang adalah hal utama, lalu bagaimana jika yang ia bantu adalah musuh?
Jawabanya, tentu saja … dia tidak peduli. Mau itu musuh ataupun teman, baginya itu tidak penting. Berada di zaman yang damai membuatnya berpikir seperti itu.
“Baiklah.”
Setelah berkata begitu Willem tidak sadarkan diri.