Populasi dan Birth Rate Makin Turun, Tingkat Bunuh Diri Anak Remaja Jepang Malah Rekor Tertinggi dalam Sejarah
Populasi Jepang telah menghadapi masalah penurunan populasi selama beberapa dekade terakhir.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk tingkat kelahiran yang rendah dan harapan hidup yang tinggi.
Menurut Badan Statistik Nasional Jepang, pada tahun 2020, jumlah kelahiran di Jepang turun menjadi kurang dari 865.000, yang merupakan angka terendah sejak negara ini memulai pencatatan pada tahun 1899.
Penurunan tingkat kelahiran di Jepang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan gaya hidup dan prioritas karir yang berubah.
Banyak pasangan muda di Jepang memilih untuk menunda pernikahan dan kelahiran anak karena alasan finansial dan profesional.
Selain itu, semakin banyak wanita Jepang yang memilih untuk fokus pada karir mereka dan menunda pernikahan.
Penurunan populasi dan tingkat kelahiran yang rendah dapat memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat Jepang dan ekonomi negara.
Pemerintah Jepang telah mengambil beberapa langkah untuk memperbaiki situasi ini, seperti memberikan insentif kepada pasangan muda untuk memiliki anak dan meningkatkan dukungan bagi keluarga yang membesarkan anak.
Namun, upaya ini masih belum cukup untuk menghentikan penurunan populasi dan tingkat kelahiran di Jepang.
Dalam jangka panjang, Jepang mungkin perlu mengambil tindakan yang lebih drastis untuk mengatasi masalah ini, seperti mengubah kebijakan imigrasi dan meningkatkan dukungan bagi keluarga yang membesarkan anak.
Peningkatan populasi dan tingkat kelahiran yang lebih stabil dapat membantu memperkuat ekonomi dan memastikan keberlanjutan masyarakat Jepang di masa depan.
Sementara itu tingkat bunuh diri anak dan remaja di jepang itu mencapai rekor tertinggi dalam sejarah.
Hal ini dikarenakan masyarakat Jepang saat ini sudah menjadi permainan genetik, dan contoh yang paling familiar bagi anak-anak adalah ujian masuk universitas.
Misalnya, tes yang umum saat ini adalah tes skrining genetik yang khusus mengukur kinerja otak bawaan.
Kontennya seperti tes IQ, dan batas waktunya sangat singkat sehingga bahkan instruktur profesional pun kesulitan dan menganggapnya bermasalah.
Tak perlu dikatakan lagi, hal semacam ini normal.
Tidak peduli seberapa keras mereka berusaha, siswa sekolah menengah tidak dapat bersaing dengan kecerdasan bawaan mereka, dan ini seperti “permainan gacha genetik” yang kompleks.
Namun, Jepang masih merupakan masyarakat yang sangat akademis, dan lebih spesifiknya, anak-anak dari warga kelas atas tidak dapat bersaing dengan kecerdasan bawaan mereka.
Ada sistem yang diterapkan Hal ini memungkinkan siswa untuk masuk universitas ternama dengan mengecualikan mereka dari ujian masuk,
namun sebagian besar anak tidak punya pilihan selain putus asa atas kesenjangan yang sangat besar tersebut, dan beberapa bahkan melakukan bunuh diri.
Menanggapi hal ini, pertemuan penghubung diadakan antara kementerian dan lembaga terkait menjelang “Pekan Pencegahan Bunuh Diri,”
Menteri Kebijakan Anak di Jepang Ogura menyatakan bahwa pemerintah akan bekerja sama untuk memperkuat tindakan pencegahan.
Pada pertemuan yang diadakan pada tanggal 5 September, menjelang Pekan Pencegahan Bunuh Diri yang dimulai pada tanggal 10 September 2023.
Menteri Ogura menyatakan bahwa jumlah kasus bunuh diri di kalangan siswa SD, SMP, dan SMA pada tahun 2022 mencapai rekor tertinggi yaitu 514, dengan mengatakan, “Kami menangani ini dengan sangat serius.”
Dia kemudian menyatakan, “Saya ingin pemerintah bekerja sama untuk mewujudkan masyarakat di mana tidak ada anak yang bunuh diri,” yang menunjukkan niatnya untuk memperkuat tindakan pencegahan.
Tapi pada akhirnya pemerintah di negara manapun tetap sama aja pemerintah sih, akan cukup sulit untuk melihat upaya mereka melakukan pencegahan itu berhasil.
Sumber: https://news.yahoo.co.jp/articles/0c1aefa45794feb09a178b474a52358e32750867