Murid-Murid Bermasalah Ingin Membuat Komunitas Bermasalah – Bab 3

Murid-Murid Bermasalah Ingin Membuat Komunitas Bermasalah – Bab 3 Part 2 adalah light novel original Indonesia yang saya buat.


Bagian 5

Dan dengan demikian, kita kembali ke Willem yang pada saat yang sama sudah menyelesaikan 1 dari 10  bagian yang direkomendasikan Lavea.

Total jumlah buku yang Lavea berikan adalah 1.134 buku. Ia juga menambahkan kalau jumlah buku ini sudah ia pilih dan sudah dipastikan kalau isinya berbeda, ia juga berkata kalau ia sudah mengingat seluruh isi dari tiap buku yang ia baca, dan juga sudah membaca sembilan puluh persen dari total buku di perpustakaan ini.

Saat mendengar itu Willem mendesah kagum sekaligus bertanya-tanya kenapa Lavea melakukan hal itu, dan bagaimana ia bisa mengingat semua isinya.

Sekarang, Willem sedang membaca lima buku sekaligus. Hal ini ia lakukan setelah meniru Lavea yang memakai teknik yang sama, dan entah kenapa Willem juga bisa membaca lima buku tersebut dan mengingat dengan baik isinya.

“Aku rasa Lavea adalah seorang ‘S’.”

Ia bergumam pada dirinya sendiri.

Ia memang meminta Lavea untuk mencarikan buku yang ia minta, tetapi memberikan 1.134 buku sekaligus … Itu benar-benar kejam.

Tapi alasan sebenarnya Lavea melakukan hal itu karena kepolosannya, Willem berpikir demikian setelah melihat Lavea yang berada di sampingnya yang begitu menikmati membaca sebuah buku.

“Aku harap aku punya perpustakaan berjalan seperti dia—“

Perkataan Willem terputus saat sebuah ide yang tidak baik melintas di pikirannya. Menggelengkan kepalanya sambil menyunggingakn senyum miring, Willem melanjutkan membaca kelima buku tersebut.

Inilah informasi yang telah dirangkum oleh Willem sejauh ini;

Pertama, Divinity. Di sejarah dikatakan kalau divinity adalah konsep kekuatan yang sebelumnya tidak ada di dunia ini. Divinity ada sejak 318 tahun lalu, saat raja William menggunakan sebuah kekuatan konseptual yang mengatur ulang sistem dunia. Saat dia membuat sistem game, dia juga menambahkan divinity sebagai konsep kekuatan baru. Divinity juga adalah bakat yang diberikan kepada orang-orang terpilih saat lahir oleh dewa, dunia, roh, dan lainnya.

—Kedua, roh dan sihir. Roh dan sihir memiliki keterikatan yang kuat, bisa dibilang mereka bekerja sama. Orang-orang mempunyai energi sihir (Mana), roh memiliki jalur untuk mengalirkan mana. Setiap orang memiliki “Spirits” di tubuhnya, atau  sirkuit sihir. Tanpa itu orang tidak bisa menggunakan sihir. Seperti yang dijelaskan Ethel, sirkuit sihir atau partikel roh  tidak hanya ada di orang, tapi makhluk hidup lainnya, dan saat mereka mati, mereka akan berubah menjadi roh kembali dan seterusnya. Roh juga bisa ada dari sebuah pratikel roh yang menyerap emosi-emosi makhluk hidup, ataupun kepercayaan dari satu individu sampai mayoritas.

—Ketiga, tentang kerajaan ini. Seperti yang diduga, kerajaan ini menggunakan sistem pemerintahan meritokrasi. Tapi raja sekarang masih dalam keluarga kerajaan. Bagaimanapun juga, itu karena komunitas raja sekarang masuk ke sebuah aliansi yang diisi komunitas-komunitas besar dan kuat.

’Bermainlah di papan permainan yang telah kami siapkan, lupakan lah perang, jika kalian mempunyai konflik selesaikan lewat permainan. Memutuskan sesuatu lakukan di permainan, Pertaruhkan sesuatu apa pun itu, Gunakanlah kekuatan yang diberikan oleh kami, karena dengan ini Peraturan Mutlak berlaku.’ … Sebuah pidato yang benar-benar dramatis.”

Willem meregangkan tubuhnya kuat-kuat setelah selesai membaca salah satu dari buku sejarah, di mana saat raja William melakukan pernyataan yang mengubah dunia.

“Hei, Lavea.”

Kelihatannya Lavea tidak mendengar suara Willem yang memanggilnya, dan masih membaca kelima buku tersebut dengan serius. Willem memutuskan untuk mendekati Lavea dan mengejutkannya dengan mendekatkan wajahnya ke wajah Lavea.

“Hei.”

“Heh?! A-Ada apa Kakak?”

Sekali lagi, Lavea memanggil Willem dengan sebutan “Kakak” sambil menjauhkan wajahnya karena terkejut, mendengar itu Willem menyunggingkan senyum miring. Lalu duduk di samping Lavea dan memberikan pandangan kilatan penasaran kepada Lavea saat bertanya, “Apa aku boleh membawa buku-buku itu ke rumahku?”

“Nn, boleh. Tapi. Membawa 1.134 buku pasti sulit, ‘kan? Apalagi saat hujan saat ini. Jadi Ka … Willem. Harus menunggu hujan reda, setelah itu aku akan membantu Willem.”

Lavea berbicara dengan suara yang tipis dan pelan yang hampir tidak terdengar.

Willem yang masih memberikan kilatan penasaran di matanya, mengangguk dan melanjutkan, “Yah, aku jadi penasaran saat kau tidak sengaja memanggilku ‘kakak’, jangan-jangan kau adalah adikku?”

Tiba-tiba Lavea berdiri dari kursi dan membalikkan badannya membelakangi Willem, yang membuat Willem berpikir bahwa ia salah bicara. Tapi, pada saat itu Lavea membalikkan badannya lagi dan terlihat wajahnya sangat merah seperti tomat sampai telinganya.

“B-B-B-Betul …!”

Lavea bersuara seperti seseorang yang berbicara dengan dada yang sesak, seakan ia ingin mengatakan dengan sekeras-kerasnya tetapi tertahan oleh suaranya yang kecil.

Seolah tersadar dari tindakannya, Lavea membelalakkan matanya terkejut lalu menundukkan kepalanya dengan malu-malu sambil berkata dengan takut-takut.

“M-Maaf.”

“Kalau kau benar adikku …, ya ampun, aku tidak menyangka adikku seimut ini. Aku yang dulu pasti sangat-sangat beruntung.”

Willem menanggapi hal itu dengan ringan, yang membuat Lavea sendiri terkejut. Lavea mungkin tidak terkejut dengan kalimat terakhir Willem, tetapi sesuatu yang lain.

Tapi, Willem. Ini benar-benar di luar dugaan, untuk seseorang yang kehilangan ingatannya dan bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai adiknya, dan menerimanya begitu saja. Ini pasti berita yang benar-benar baik sejauh ini, itu karena Willem tidak perlu jauh-jauh lagi untuk mencari tahu dirinya dahulu.

Dan dengan pikiran itu, Willem sudah memutuskan keputusannya.

“Tunggu, kenapa Kakak langsung menerimanya begitu saja?”

Lavea mendekatkan wajahnya ke wajah Willem dengan mata penasaran dan membuat Willem sedikit terkejut sekaligus terpesona dengan mata milik Lavea.

“Kenapa, ya? Aku rasa sudah jelas, memangnya siapa yang akan menolak seorang gadis imut sepertimu yang mengaku sebagai adiknya?”

Lavea tersipu dan terdiam sejenak.

“Tapi-tapi, bagaimana jika aku pembunuh bayaran, musuh, atau orang yang akan mencelakai Kakak?”

Willem mengalihkan pandangannya sesaat ke arah buku yang dibaca Lavea dan menyunggingkan senyum masam, lalu membalas, “Aku rasa kau terlalu banyak membaca buku literatur. Lagi pula, pembunuh bayaran mana yang mengakui rencananya kepada targetnya?”

“Benar juga, tapi, tapi ….”

Lavea tiba-tiba menundukkan kepalanya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya. Ketika Lavea menjauhkan wajahnya dan membalikkan badannya menyamping, Willem merasa hawa dingin merayap ke seluruh tubuhnya.

“… Syukurlah ….”

Di bawah cahaya lampu perpustakaan, Lavea menempatkan kedua tangannya di dadanya. Rambutnya yang halus ikut bergerak ketika tubuhnya bergetar, wajahnya berkilauan ….

—Berkilauan?

Sesuatu yang berkilau itu adalah air mata, di sana, tepat di depan Willem, Lavea menangis. Itu bukanlah air mata biasa, itu adalah air mata yang sangat tulus dari Lavea. Pipinya yang merona basah karena air mata Lavea yang turun membentuk aliran sungai kecil.

Karena tubuh Lavea yang pendek, dan tingginya hampir sama dengan Willem saat ia duduk di kursi. Willem dengan mudah memeluknya dan secara tidak sadar bergumam saat memeluk Lavea, “Aku pulang.”

“Ughh, huu huuu ….”

Itu merupakan suara tangisan yang benar-benar tulus dari Lavea, Willem kali ini benar-benar menunjukkan ekspresi serius. Ia memang belum mengenal Lavea sejauh Lavea mengenalnya, tapi saat memeluk Lavea dan mendengar tangisannya … Willem mengerti.

“Lavea sangat senang saat tahu Kakak masih hidup.”

Lavea tetap menangis sembari memeluk Willem, namun Willem tidak membalas ucapan Lavea karena ia tidak tahu harus berkata apa.

“Lavea takut, sangat takut jika Lavea tidak bisa bertemu dengan Kakak lagi.”

“….”

Lavea terus menggumamkan kakak, kakak selagi memeluk Willem. Setelah berhenti terisak, Lavea tersipu dan membuka bibirnya yang kecil, ia agak menundukkan kepalanya, dan berkata dengan suara lembut seolah-olah sedang mengungkapkan sesuatu yang penting.

“Bisakah Lavea … Memanggil Willem … Kakak?”

Willem tersenyum sambil membenarkan topi Lavea dan mengusap kepalanya dengan lembut saat menjawab, “Ya.”

Lavea pasti sudah menahan semua perasaannya selama ini, itulah kenapa ia meledak seperti ini. Willem tidak tahu sama sekali apa yang terjadi sebelum ia ditemukan Nea, jadi ia tidak tahu pasti perasaan Lavea. Meskipun, perasaan yang hangat kini sudah menyelimuti tubuhnya.

Willem sudah berencana untuk mengajak Lavea untuk ikut ke komunitasnya, dan juga ia ingin bertanya tentang dirinya kepada Lavea. Ia sangat ingin mendengar masa lalunya dari seseorang yang begitu dekat dengannya.

“Sebagai kakakmu. Aku bersumpah akan melidungi Lavea dan tidak akan meninggalkanmu lagi, jadi …,” Willem menyungginggkan senyum cerah, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Lavea seraya melanjutkan, “Aku ingin Lavea berada di dekatku.”

Lavea tersenyum, itulah jawaban yang ia harapkan. Akan tetapi, rasa sesak di dadanya masih belum menghilang. Ia menyipitkan matanya selama sedeitk dua detik, kemudian mendekatkan wajahnya dan—

*Cup*

Lavea mencium pipi Willem, bersamaan dengan suara kecupan tersebut, Willem membelalakkan matanya terkejut. Ia tahu Lavea baru saja mencium pipinya, tapi ia tidak tahu sama sekali alasan apa Lavea melakukannya.

Mungkin biasanya Willem akan bercanda dan berkata kalau dirinya sangat beruntung lalu meminta melanjutkan ke tahap selanjutnya, tapi karena ini situasi yang serius, Willem hanya bisa tersenyum saat melihat Lavea yang memasang ekspresi cerah kembali.

Tampaknya hujan mulai mereda bersamaan dengan hilangnya suara berisik tersebut.

“Hei, apa kau berminat ikut komunitasku?”

“Eh?”

“Yah, walaupun masih kurang dua anggota lagi untuk komunitas ini diakui sekolah. Tapi jika kau setuju, tinggal satu orang lagi, dan aku bisa melindungimu juga.”

“Lavea masih belum bisa ikut.” Lavea menggelengkan kepalanya pelan, “Tapi, sekitar satu sampai dua minggu lagi bisa.”

Willem mengernyitkan alisnya kecewa, tapi Willem pikir Lavea punya rencana sendiri jadi ia hanya menjawab, “Begitukah?” dan melihat ke luar jendela perpustakaan yang berembun.

“Sudah gelap lagi ya, aku rasa aku akan pulang.”

Sambil berucap begitu, Willem berdiri lalu merapikan seragamnya.

“Nn, selamat malam.”

Setelah berpisah dari Lavea, Willem berjalan keluar dari perpustakaan. Lavea telah berkata kalau buku-buku yang belum Willem baca akan ia antarkan ke mansion Willem. Willem awalnya ragu, tapi setelah melihat Lavea yang melenyapkan satu bagian dari tumpukan buku tersebut, ia tidak punya pilihan lain selain percaya.

Willem juga sudah tahu ia sekarang berada di bagian selatan area sekolah setelah membaca buku sejarah akademi ini. Ia juga sudah tahu kalau area Akademi Sihir Altheria seluas satu negri kecil.

Sementara di dalam perpustakaan, Lavea duduk di atas kursi putih yang berbeda dari kursi lainnya dan sedang menulis sesuatu di buku catatan di sebuah ruangan seperti kamar pada umumnya.

“Apa kau sudah bertemu dengannya?”

Suara seorang wanita terdengar menggema di ruangan itu.

“Ya.”

“Apa kau senang?”

“Lavea sangat senang sekali!”

“Tapi, sayang sekali kau tidak punya banyak waktu lagi.”

“Lavea. Mengerti.”

—————————————————————————————————————

Setibanya Willem di mansion-nya, saat ia baru saja membuka pintu dan berkata “Aku pulang”,  Willem tiba-tiba saja ditarik oleh Ethel dan membawanya ke ruang makan di mana, Riel dan Nea duduk di meja panjang saling berhadapan.

Nea memberikan pandangan dingin kepada Riel, sedangkan sebaliknya Riel memberikan senyuman kepada Nea. Tapi, hal itu memberikan kilatan menyilaukan bagi Willem dan Ethel yang melihat mereka.

“Hei, Willem. Kenapa orang ini ada di sini?”

“Kasar sekali ya, aku dan Willem adalah calon anggota komunitas yang sama loh. Bisa dibilang kita adalah teman.”

Willem dan Ethel hanya bisa terssenyum masam dan tadinya mereka akan duduk di kursi yang agak berjauhan dari mereka, sebelum Nea dan Riel menoleh ke arah mereka, dan membuat Willem dan Ethel duduk di samping mereka.

“Oh, benar juga. Pemegang kursi ketujuh dari Sepuluh Penyihir Elit. Kenapa kau tidak masuk ke komunitas kami?”

“Tidak, terima kasih. Aku lebih memilih ikut komunitas terendah di sini daripada menerima ajakanmu.”

Mereka memang menampakkan senyum mereka, tapi dari cara bicara mereka benar-benar berkebalikan. Willem berpikir demikian.

“Sayang sekali, kalau begitu diriku dan Willem akan tetap melanjutkan rencana kami tanpamu.”

Alis Nea sedikit berdenyut karenanya.

Pada saat yang sama, Nea mengepalkan tangannya, dan semakin melepaskan rasa permusuhan terhadap Riel.

“Kalau begitu sayang sekali, sebenarnya Willem sudah setuju denganku untuk membuat komunitas baru. Benar, ‘kan Willem?”

Tahu-tahu dirinya terlibatkan, Willem menyunggingkan segaris senyuman miring, yang membuat Nea dan Riel menujukan sedikit keterkejutan mereka.

“Kenapa tidak kita adakan, game saja?”

“Menarik, aku setuju.”

Riel menempatkan kedua lengan di dadanya sambil menyunggingkan senyum miris.

“Aku setuju, tapi siapa host-nya?”

“Aku.”

Riel mengacungkan jarinya.

“Kebetulan, kalau begitu aku serahkan semuanya padamu, wahai murid terkuat.”

“Oh, baiklah. Peraturannya mudah, Nea dan Willem akan menjadi peserta. Mereka harus menemukan Ethel dalam waktu tiga puluh menit, dan aku akan menyiapkan magic item yang bisa kalian gunakan sebagai senjata. Tentunya aku juga akan menggunakan itu dan tidak akan menggunakan tangan, kaki, ataupun sihir seperti kalian. Jika aku menang Willem akan tetap ikut ke komunitasku dan kau Nea vee Altina harus ikut juga tentu saja.”

“Dan jika kami menang, kau tidak akan menganggu kami lagi.”

“Setuju.”

Walaupun begitu, Ethel yang tidak ada hubungannya tiba-tiba dikaitkan dan dijadikan sebagai tujuan penyelesaian game, hanya bisa tersenyum pahit.

“Tapi, kenapa Willem juga harus ikut?”

Nea tiba-tiba menyela denagn ekspresi khawatir di wajahnya.

“Hah? Apa maksudmu? Jika Willem ikut bersamamu, kesempatan kau menang dalam Game ini lebih besar.”

Nea mengalihkan pandangannya ke Willem beberapa saat, lalu mengalihkannya ke Riel kembali.

“Baiklah, kita tidak tahu sebelum melihatnya, ‘kan?”

Mereka bertiga mengeluarkan pin mereka dan saat itu juga Willem terkejut melihat pin Nea yang berbentuk sama dengannya.

“Wah, wah. Ternyata kau adalah seorang murid bermasalah juga? Nea vee Altina.”

Mendengar sindiran Riel, Nea tesipu. Sebelum ia melihat pin Willem yang sama-sama berbentuk lingkaran.

“Willem, apa yang kamu lakukan sampai-sampai mendapat pin itu di awal sekolah?”

“Entahlah, jadi ini game antar murid bermasalah? Aku rasa ini semakin menarik.”

“Ayo kita mulai.”

Mereka semua berdiri.

“Deschanta!”

“Deschanta!”

“Deschanta.”

Cahaya mengilat dan meleburkan pin mereka menjadi gulungan kertas, seketika itu juga tempat mereka berdiri berubah menjadi batu ubin kecil, di sekeliling mereka berubah menjadi sebuah kota monokrom.

Bangunan-bangunan seperti penginapan, rumah, toko-toko, dan pasar. Berdiri tegak dengan kokoh, bangunan-bangunan yang begitu dekat, teratur, dan tampak baru itu berada di samping Nea dan Willem dan membentuk sebuah jalan lurus dan bercabang yang tampak seperti sebuah labirin perkotaan.

Tapi, Willem sama sekali tidak dapat merasakan tanda-tanda kehidupan di sini. Seolah, ini hanyalah sebuah kota kelabu yang tak pernah ditinggali sebelumnya. Sebagai tambahan, jalan-jalan tersebut yang mengarah ke suatu tempat itu memiliki panjang yang tidak terukur.

Namun, Nea sama sekali tidak memperlihatkan keterkejutanya, seakan-akan ini adalah hal biasa.

Jangan-jangan, ini adalah stage yang disebutkan itu?

Willem benar-benar tidak bisa berpikir apa-apa, Willem kira stage yang disebutkan itu adalah area di akademi, tapi ini benar-benar berbeda. Sekarang Willem paham kenapa ia mendapat ceramah dari Arin.

Berpikir betapa luar biasanya ini, berpikir bahwa baru saja semua orang ada di mansion-nya, dan sekarang Riel dan Ethel menghilang entah ke mana. Willem hanya bisa mendesah penuh kagum.

<<Private Game>>

Peserta : Willem Ainsworth dan Nea vee Altina

Host : Riel White

Kondisi Kemenangan Peserta:

*Menemukan sandera di stage game dalam waktu 30 menit

*Mengalahkan host dalam waktu 30 menit

Syarat Kemenangan Host:

*Mengalahkan semua peserta

*Berhasil bertahan selama 30 menit dan tidak kehilangan sandera

Kondisi Kekalahan Peserta:

*Gagal menyelamatkan sandera dalam waktu 30 menit

*Tidak bisa bertahan dalam waktu 30 menit

*Melakukan pelanggaran dalam Private Game

Kondisi Kekalahan Host:

*Menyerah atau tidak bisa bertahan dalam waktu 30 menit

*Melakukan pelanggaran dalam Private Game

Detail Game:

*Menggunakan barang yang telah dipilih secara acak sebagai senjata utama

Larangan:

*Menggunakan senjata selain barang yang didapatkan, termasuk anggota tubuh, dan sihir untuk menyerang.

Berdasarkan peraturan, peserta dari Private Game bersedia mempertaruhkan harga diri mereka dan bersumpah kepada peraturan yang mutlak.

“Di mana magic item yang Riel maksud?”

Willem memperhatikan sekitarnya setelah membaca sekilas gulungan tersebut, sebelum cahaya berpendar di sekelilingnya muncul secara tiba-tiba. Cahaya berwarna biru yang berpendar-pendar itu membentuk sebuah persegi panjang, itu mirip seperti sebuah kartu.

Kartu-kartu tersebut berbaris dengan rapi membentuk silinder di sekeliling dan berputar mengelilingi mereka. Jadi, Willem mengambil kesimpulan untuk menyentuh secara acak salah satu kartu tersebut.

Dan pada saat yang sama Willem menyentuh salah satu kartu tersebut. Kartu yang Willem sentuh berubah menjadi sebuah kipas kertas.

Dan saat itu juga, kartu-kartu tersebut berhenti berputar dan lenyap seketika.

Willem melirik Nea yang sekarang mengenggam sebuah rapier yang benar-benar berbeda dengan Willem dalam hal sesuatu yang disebut “Senjata”.

“Kenapa ada harisen di daftar senjata?”

“Oh, aku rasa kamu kurang beruntung ya. Tapi, kamu bisa mengalirkan mana-mu ke kipas itu, karena anak itu bilang akan menyediakan magic item, jadi mungkin saja kipas itu salah satunya.”

“Benar juga, pasti ada sirkuit sihir di kipas ini. Baiklah, ayo kita mulai Game-nya!”

Dengan itu, Nea dan Willem mulai berlari menyusuri jalanan perkotaan sembari menelusuri sekeliling mereka.

“Ngomong-ngomong Nea, apa menurutmu peraturan Game ini agak sedikit aneh?”

Sambil berlari, Willem bertanya tanpa melihat Nea.

“Aku rasa tidak.”

“Begitu ya? Tapi, aku rasa kondisi kemenangan Riel lebih sulit daripada peserta. Yaitu Riel harus mengalahkan kita dan bertahan dalam tiga puluh menit.”

“Saat kamu bilang begitu, aku rasa benar juga. Tapi, kondisi ini menguntungkan kita bukan?”

“Ya, tapi aku tidak menyukai ini.”

“Heh? Kenapa?”

Mereka berhenti berlari, sementara Nea menunjukkan kebingungannya, Willem menundukkan kepalanya dalam diam.

“Karena … DIA TERLALU PERCAYA DIRI BUKAN!!!”

Saat itu juga Willem mengayunkan kipas kertasnya pada sebuah bangunan di samping kiri belakangnya yang saat itu juga meledak menjadi puing-puing bangunan.

Selagi Nea membelalakkan matanya terkejut, Riel melompat keluar dari kepulan asap tersebut. Willem tidak bisa melihat senjata apa yang Riel bawa, jadi ia tidak langsung melompat ke sana.

“Ahahaha, ya ampun. Bukankah ini sebuah kejutan? Aku tidak percaya kau bisa merasakan kehadiranku.”

“Nea!”

Tersadar dari keterkejutannya, Nea melompat menyusul Riel yang berada di udara, lalu mengayunkan rapiernya miring ke leher Riel dengan cepat.

*Clank*

Suara yang seperti peraduan besi menggema saat rapier Nea sampai di bawah dagu Riel.

“Apa?!”

Di sana, tepat di depan leher Riel, sebuah penggaris besi menahan rapier Nea.

“Oh, sepertinya hanya kau saja yang mendapat sebuah ‘senjata’.”

Pada saat Riel berkata begitu, ia mendorong rapier Nea menjauh hingga membuat Nea terdorong mundur di udara, dengan cepat Riel mengayunkan penggarisnya dan membuat Nea terlempar menabrak bangunan di bawahnya.

Dan pada saat yang sama saat Nea terlempar, Willem muncul di belakang Riel yang bersiap melakukan serangan dengan kipas kertasnya.

Mata Riel melebar terkejut.

“Hmm, menarik.”

*Plak!*

Suara seperti tepukan yang ringan dari kipas kertas tersebut berhasil melemparkan Riel ke bawah dan menembus 3 bangunan. Alih-alih menyusul Riel, Willem membuat pijakan di udara dan berlari menuju tempat di mana Nea jatuh.

Nea bangun dari tumpukan puing-puing bangunan dan melihat Willem mendekatinya.

“Kau tidak apa-apa?”

“Ya, aku baik-baik saja.”

“Baguslah. Tapi, mengayunkan rapier seperti itu, aku rasa kau tidak terlalu ahli dalam menggunakan rapier. Maksudku, rapier harusnya ditusuk-tusuk, ‘kan? ”

Nea menaikkan alisnya saat menjawab, “Iya, aku belum pernah memakai rapier sebelumnya. Andai saja aku bisa memakai sihir.”

“Hmm, menurutku jika kita bisa memakai sihir, maka kita akan kalah telak. Tapi, aku rasa memakai sihir diperbolehkan asal masih memakai senjata sebagai perantaranya, mungkin?”

Mata Nea melebar karena menyadari perkataan Willem, ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

“Hei, Nea. Apa kau menemukan sebuah gereja di tempat ini saat kita berlari tadi?”

“Aku …, tidak melihatnya.”

“Baiklah, aku punya rencana.”

Beberapa saat kemudian, Nea dan Willem berjalan keluar dari bangunan yang telah berlubang tersebut, dan melihat Riel yang berdiri di tengah-tengah jalan dengan senyuman miris di wajahnya.

“Sepuluh menit sudah berlalu, apa kalian tidak punya minat untuk mencari Ethel—“

Perkataan Riel terpotong saat tiba-tiba Nea melompat dengan cepat sambil menusuk lurus dengan rapiernya menuju kepala Riel.

Riel secara naluriah memiringkan kepalanya sambil menangkis rapier Nea dengan penggaris besinya yang menghasilkan suara gesekan dan percikan di dekat telinganya.

Selanjutnya, Willem melompat dengan kecepatan yang tidak bisa ditangkap mata, lalu berhenti di titik buta Riel, dan memukul punggung Riel dengan gagang kipas kertasnya dan membuat Riel terlempar sejauh puluhan meter yang menghasilkan jejak di jalan.

“Sekarang!”

Segera Nea berlari sprint menuju Riel dengan kecepatan yang bukan main, lalu mengayunkan rapiernya ke bawah. Ayunan yang terlihat kasar itu merupakan serangan yang kuat dan akurat.

Meskipun demikian itu hanyalah sebuah ayunan biasa bagi Riel. Riel melihat gerakannya dan mengangkat penggaris besinya untuk menerima serangan tersebut—tetapi ia segera membatalkan gerakan tersebut dan melangkah mundur.

Itu karena, rapier yang Nea ayunkan tiba-tiba tersulut api yang membara.

“Ya ampun, aku rasa aku terlalu meremehkan kalian.”

“Tepat. Haaaaa!”

Tersenyum lebar, Nea segera mengejarnya, dan Riel tetap mundur untuk memperbesar jarak. Karena Riel masih belum memiliki kesempatan untuk menghentikan serangan Nea dengan penggaris besinya yang sepanjang 30cm ini.

*Wuush!* Angin menderu tiap Nea melancarkan serangannya lurus.

“Ahahaha, aku pikir kalian tidak akan menyadari celah di Game ini.”

Riel berkata dengan riang sambil menghindari serangan Nea yang semakin cepat saja.

“Ya, aku hampir tertipu jika Willem tidak memberitahuku. Asal tidak menggunakan sihir serangan, itu tidak apa-apa, ‘kan?”

“Betul, ya ampun. Willem itu, selalu membuatku tertarik. Tapi, sekarang aku mendapatkan kesempatan ini.”

Riel sekarang tidak bisa menghindari serangannya Nea lagi, Riel mulai merespon dengan penggaris besinya. Dan percikan api pun mulai meledak bersamaan dengan suara benturan logam yang menjadi suara latar belakang pertarungan ini.

Dan dengan demikian, Riel mulai menangkis semua serangan Nea dengan penggaris besinya. Kecepatan serangan Nea yang semakin meningkat memang hebat, tetapi Riel lebih hebat karena dapat menangkis serangan Nea dengan sebuah penggaris besi.

Bukan, Nea menyadari sesuatu yang sangat janggal. Riel tidak mengimbangi kecepatan Nea, ia lebih cepat dua kali lipat dari kecepatan serangan Nea, seakan Riel bisa menebak serangan Nea selanjutnya.

Nea sadar kalau dirinya tidak ahli menggunakan rapier dan hanya bisa melakukan serangan monoton dan tidak beraturan, tetapi menebak serangan Nea dalam waktu sesingkat ini. Membuat Nea berkeringat.

Nea mulai merasa gelisah, semuua yang bergerak di tubuhnya seperti, baju, kulit, dan ototnya dibaca dengan mudah oleh Riel. Nea tidak menyangka kalau musuh di hadapannya ini memiliki kehebatan dalam bela diri.

“Gerakanku tidak sesederhana itu, kau tahu?”

“Tidak, tidak. Aku sudah paham.”

Dalam sekejap, aliran pertarungan berubah.

Penggaris besi Riel ia gerakan seperti sebilah pedang yang memotong udara di antara kobaran api dari rapier Nea. Merespon gerakan Riel, rapier Nea dengan mulus mengayun menepis penggaris Riel yang mengarah ke celah di dadanya.

Dan saat itu juga, Riel berhasil mengacaukan irama Nea dan menghentikan serangan Nea.

“Kau kehilangan kosentrasimu, tahu.”

Sambil mengatakan itu dengan senyuman tipis, Riel mendorong rapier Nea hingga terbang ke udara, menciptakan celah besar di pertahanan Nea.

“Satu selesai.”

Dan selanjutnya Riel memotong Nea yang tanpa pertahanan—

Itulah yang Riel pikirkan sebelumnya, tapi kejadian sebenarnya adalah. Penggaris besi Riel tidak mendarat di tubuh Nea, lebih tepatnya penggaris itu terlempar ke udara dari tangan Riel bersamaan dengan hembusan angin kencang dari bawah.

“Willem.”

Disaat waktu yang sangat tepat, Willem muncul di samping Nea dan mengayunkan kipas kertasnya ke atas dan berhasil melemparkan penggaris besi Riel ke udara.

“Aku bersyukur sudah mempelajari sihir penguat sebelumnya.”

Dan kemudian, kipas kertas itu tiba-tiba menyerang sekali lagi dan mengirim tubuh Riel ke udara, saat ia terus terbang dalam garis lurus menuju langit lalu jatuh, Willem berbalik menghadap Nea.

“… Aku mulai menyukai kipas ini. Ngomong-ngomong, aku sudah menemukan tempatnya. Nea, aku serahkan Ethel padamu.”

Nea mengangguk saat menjawab, “Baik.” Dan mulai melompat ke atas bangunan di sebelah kanannya lalu melompat dari atap ke atap.

“Hei, Willem!”

Di tengah udara, Riel berkata sambil memulihkan posisinya di udara.

“Ada apa Cebol?”

“Ya ampun, kau masih memanggilu seperti itu? Terserah. Ayo kita ambil undian lagi.”

Saat mengatakan itu dengan ringan, Riel mendarat dan menangkap penggaris besi yang jatuh di sampingnya.

“Kenapa aku harus melakukan itu? Aku sudah sangat menyukai kipas ini tahu?”

“Tapi, dengan kipas itu kau tidak bisa mengalahkanku bukan? Atau kau hanya berusaha menahanku agar Nea menemukan Ethel? Ahh, kau pasti sudah menebak tempat Ethel berada, ‘kan. Tapi, Willem. Aku tidak yakin Nea bisa mencapai tempat itu.”

Willem tidak menyangkal itu dan hanya melipat kipas kertasnya. Setelah itu, ia menyimpan kipas kertas tersebut di saku jaketnya.

“Baiklah.”

Dan setelah Willem berkata begitu, cahaya kembali berpendar di hadapannya lalu bermunculanlah kartu-kartu tersebut di depan Willem, tetapi kali ini kartu-kartu tersebut berbaris dengan rapih di sepanjang jalan kota.

“Kali ini pilihannya lebih banyak ya, baiklah, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, aku pilih yang atas.”

Willem menyentuh kartu yang berada di atas kepalanya, dan sekejap kartu tersebut berubah menjadi sebuah katana lengkap dengan sarung pedangnya.

Entah kenapa, Willem tahu apa yang harus dilakukan, ia merapatkan kakinya sedikit dan mengalihkan pandangannya ke Riel yang sudah mengenggam sebilah pedang satu tangan berwarna hitam, dan di mata pedang tersebut mengilap cahaya yang memberikan kesan berbahaya.

Mereka berdua menyunggingkan senyuman miring, menarik pedang katananya dari sarungnya lalu membuangnya, Willem menggeser kaki kirinya ke belakang sedikit. Sebuah gerakan alami yang Willem lakukan sesuai instingnya.

“Heehhh …, padahal kau tidak bisa mengingat apa-apa tentang masa lalumu, tapi tubuhmu masih mengingatnya, ya?”

Mungkin begitu, itu juga sempat terpikir oleh Willem. Bagaimanapun juga, Willem merasa bisa menggunakan pedang ini dengan baik.

Mereka sudah menyiapkan posisi mereka dengan baik, saling menghadap satu sama lain di jalanan kota.

Willem dan Riel bersiap melakukan pertarungan sengit mereka

Bagian 6

—Nea, aku akan mencari lokasi Ethel dengan melihat lanskap kota ini. Jadi, dalam rentang waktu tersebut, apa kau bisa menahan Riel?

—Mungkin, aku bisa.

—Mungkin, ya …, tidak apa-apa itu lebih baik, setelah aku menemukan lokasi Ethel, aku akan menghampirimu dan setelah itu biarkan aku yang menahan Riel.

—Tapi, kenapa kau menanyakan lokasi gereja kepadaku?

—Hmm, karena mungkin saja Ethel ada di sana. Yah, kautahu? Itu sudah seperti ciri khas di setiap kota. Karena Riel meremehkan kita, jadi kesempatan Riel menyembunyikan Ethel berada di tempat yang mencolok.

—Begitu ya, baiklah aku akan melakukannya.

Sambil mengevaluasi sekitarnya, Nea melompat dari lingkaran sihir ke lingkaran sihir lainnya di udara. Tapi, Willem, Nea sama sekali bingung bagaimana Willem menemukan lokasi Ethel dengan sangat cepat seperti itu.

Mungkin nantinya Nea akan terkejut kalau tahu yang dilakukan oleh Willem adalah melompat sejauh mungkin ke atas awan dan memandangi lanskap perkotaan tersebut.

Saat ia diselamatkan oleh Willem dari sayatan Riel, Willem memberitahukan bahwa lokasi  tersebut berada di tengah alun-alun kota yang berada di utara.

Dan beberapa saat kemudian, cahaya tiba-tiba berpendar di depan Nea, cahaya tersebut kembali berubah menjadi sebuah kartu.

“Lagi?”

Tanpa pikir panjang Nea menyentuh salah satu kartu di depannya secara acak, dan kartu tersebut berubah menjadi sebuah rubi yang mengkilap.

“”Ini ….”

Setelah Nea bergumam demikian, suara ledakan terdengar di belakangnya. Nea membalikkan badannya dan melihat asap kabut besar di tempat Willem berada.

“Willem.”

Dan saat itu juga bangunan-bangunan di area tersebut runtuh lalu terbelah menjadi puing-puing dan suara ribut tersebut pun berhenti.

Sempat terpikir oleh Nea untuk kembali ke Willem, tapi ia membuang pikiran tersebut sambil menggelengkan kepalanya dan kembali berlari menuju tempat Ethel berada.

Sesampainya di alun-alun kota, mata Nea melebar putus asa. Karena di alun-alun kota tersebut tidak ada gereja, melainkan sebuah tugu di tengah-tengah lapang perkotaan. Nea berpikir kalau Willem salah memberikan lokasinya, tapi Nea menggelengkan kepalanya untuk menyanggah pikiran tersebut dan kembali berpikir.

Tempat suci adalah tempat yang tidak tersentuh saat zaman peperangan.

Tidak boleh ada pertumpahan darah di sana.

Tapi, terkadang ada beberapa tempat beribadah yang tersembunyi untuk perlindungan warga.

Itu ….

“Aku mengerti. Ruang bawah tanah, ‘kan?”

Bagian 7

Setelah suara logam beradu terdengar dengan keras,  mereka berdua menggunakan bagian atap bangunan sebagai tempat pijakan, dan melompat menjauhi satu sama lain.

Di bawah pijakan kuat kaki-kaki mereka, bangunan yang menjadi tempat pijakan mereka meledak dan hancur menjadi serpihan diikuti debu serta asap yang melayang dari reruntuhan.

Meskipun baju mereka sudah kotor karena debu dan robek, tidak ada tanda luka gores sedikit pun pada tubuh mereka.

Di satu sisi, Riel semua serangan Willem yang mengarah kepadanya dapat dinetralkan dengan pedangnya, sedangkan di sisi lain serangan Riel yang mengarah kepada Willem selalu ditepis.

“Wah, wah. Aku tidak menyangka panggung yang aku siapkan sudah berantakan seperti ini, tapi Willem. Apa menurutmu hanya bertukar serangan itu menyenangkan?”

“Tidak sama sekali.”

“Baiklah, beritahu aku Willem. Apa kau menyuruh Nea untuk mencari Ethel di gereja?”

Riel berkata sambil menepuk-nepuk bajunya untuk membersihkan debu.

Willem tidak menyangkalnya, ia hanya mengangkat bahunya untuk menjawab.

“Tapi, kau tahu Willem. Sebenarnya aku sama sekali tidak meremehkan kau ataupun Nea.”

“Apa?”

“Memang benar aku sempat berpikir untuk menyembunyikan Ethel di gereja, tapi Willem. Di dunia ini aku tidak membuat satu pun bangunan itu. Itulah mengapa aku berkata kalau aku tidak yakin Nea menemukan Ethel.”

“Jadi? Aku harus mengalahkanmu sebelum waktu habis, ‘kan?”

Willem melirik tajam Riel sembari mempererat pegangan di pedangnya.

“Betul.”

“Tapi, sayang sekali ya, wahai Murid Terkuat. Meskipun aku tidak puas karena tidak dapat mengalahkanmu sepenuhnya, aku tidak berpikir kalau Nea tidak dapet menemukan Ethel.”

“Oh? Kau sudah puas?”

“Apa kau tidak bisa mendengar perkataan seseorang dengan benar? Aku sudah bilang aku tidak puas, ‘kan?”

Willem mendecakkan lidahnya kasar, walaupun ia tidak merasa tidak puas dalam hatinya.

Membenarkan posisi kakinya dan mengacungkan pedangnya, Willem dengan hati-hati menarik napasnya dalam-dalam.

“Sebuah monumen. Itulah jawaban Ethel berada. Dengan menyimpan secara terang-terangan tempat yang mencolok seperti itu di tengah-tengah kota, bukankah kau agak sedikit meremehkan kita?”

“Wah, wah. Tentang itu, pengetahuanmu rupanya sangat luas , yah. Kau benar soal itu.”

“Terima kasih kepada adikku yang manis karena memberikan tumpukan buku itu. Dengan kata lain, jika Nea bisa menemukan kuil di sana, maka kami akan jadi pemenangnya, benar, bukan?”

“Nn. Itu benar.”

“Dan sekarang tugasku adalah mengalahkanmu.”

Mendengar Willem yang seperti mendeklrasi kemenangannya, Riel White tidak punya pilihan lain selain menunjukkan keseriusannya.

“Ya ampun, aku sudah tidak ingat lagi kapan aku serius dalam memainkan game. Baiklah, aku akan menagakhiri kesenangan ini, jadi tolong jangan salahkan aku jika kau mati, Bocah!”

Riel menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya sambil menyunggingkan seulas senyum miring, dan mata dan rambutnya berubah kembali menjadi merah dan putih.

“Hmph! Kenapa kau berbicara seperti kita adalah orang-orang dengan gaya hidup hedonis? Majulah.”

Willem menatapnya langsung sekali lagi dengan pedang yang masih diacungkan.

Dan Riel melompat menuju Willem dengan kecepatan yang melebihi suara, mengayunkan pedang hitamnya ke leher Willem. Sebuah ayunan akurat yang tidak mungkin bisa ditangkap oleh mata biasa.

Walaupun demikian, Willem berhasil menepis ayunan Riel, tapi tidak berhenti di situ Riel mengayunkan pedangnya kembali ke pundak Willem. Tapi Willem menurunkan bahunya miring  lalu melompat ke samping. Tersenyum lebar, Willem menyiapkan pedangnya lalu mengayunkannya ke lengan Riel.

Tapi, serangan Willem tidak berhasil menembus pertahanan Riel, dan serangannya berhasil di netralkan dengan gagang pedang Riel.

Riel menghilang ke belakang, lebih tepatnya melompat dengan cepat sambil memanipulasi cahaya itu sendiri. Bergerak dengan kecepatan kosmik pertama, Riel melesat lalu mengayunkan pedangnya ke bawah.

Willem berhasil menahannya lalu melakukan serangan balik, tapi Riel kembali menghilang ke sudut yang lain, dan kembali mengayunkan pedangnya. Kini alur pertarungan sudah berubah menjadi berat sebelah, tapi sebenarnya yang terjadi.

Serangan Riel White yang seharusnya tidak bisa ditangkap mata dan serangan yang dapat menimbulkan gempa, dapat menghancurkan musuh dalam satu serangan yang pasti. Tetapi yang terjadi adalah semua serangannya dinetralkan.

“Persepsimu memang hebat Willem, apa-apaan dengan pertahananmu ini. Aku bergerak dengan kecepatan kosmik pertama loh.”

Riel mengayunkan pedangnya, dan Willem menerima serangan tersebut dengan pedangnya tetapi serangan tersebut tidak berdampak apa-apa. Sekali lagi, Riel dengan tangkas melompat ke belakang memperbesar jarak lagi.

Lalu melesat dengan kecepatan kosmik kedua dan mengayunkan pedangnya menyamping. Willem yang memegang erat gagang pedangnya berhasil terseret mundur dan jatuh dari atap bangunan.

Menyusul Willem yang jatuh, Riel melesat kembali dan mengayunkan pedangnya menyamping lagi.

Dan suara benturan logam terdengar bersamaan dengan suara ledakan serta kabut dan asap yang muncul dari tanah.

Menembus kabut, Riel menyusul Willem ke permukaan tanah. Saat percikan terlihat dari kabut, Willem meloloskan diri dengan berlari sprint.

“Oi, oi. Ada apa dengan kecepatan yang luar biasa itu? Apakah hanya itu saja kekuatanmu, Riel White?!”

“Kau tidak perlu cemas, itu tentu saja tidak mencapai kekuatan asliku.”

“Baiklah, aku akan mencoba bergerak sepertimu.”

Willem berhenti berlari bersamaan dengan kabut yang menghilang dan menampilkan Riel yang menyunggingkan senyum lebar.

Menyiapkan pedangnya, Willem tiba-tiba melesat dengan kecepatan yang sama dengan Riel,  Willem mengayunkan pedangnya dengan satu tangan dari pinggang ke bahu Riel, lalu membalik mata pedangnya dan tangan satu laginya meraih gagang untuk menambah tumpuan pada ayunannya ke bawah, dan sekali lagi ia mengayunkan kembali pedangnya secara vertikal.

Dalam rentang waktu kurang dari sekejap mata tersebut, Willem berhasil mengayunkan tiga serangan dan berhasil menembus pertahanan Riel. Willem yang masih melesat berhenti di belakang Riel dan menghasilkan jejak di tanah berkat dampak dari pendaratannya.

“Ughh, dasar Cebol brengsek.”

Willem memekan pinggang atasnya yang mengeluarkan darah.

“Harusnya aku yang bilang begitu, tahu?”

Riel menjatuhkan pedangnya dan jatuh pada tumpuan lututnya sambil memuntahkan darah dari mulutnya, ia menekan luka tebasan yang fatal di perutnya.

“Lagi pula, kenapa kau tidak menghindar?”

“Disetiap pertarungan, kau harus memikirkan kemungkinan terbaik dan terburuk, dan alasan aku tidak menghindar karena itu kemungkinan terbaik.”

“Jadi, ingin melanjutkannya?”

Senyum ringan Willem menunjukkan lebih banyak kepercayaan diri daripada sebelumnya, dan sebuah perasaan senang mulai muncul dari tatapannya.

“Jika kau memaksa, baiklah.”

Mereka berdua berdiri dan menyiapkan pedangnya, masing-masing tangan mereka menekan luka di tubuhnya.

Willem mendadak bergerak dengan kecepatan yang tidak bisa ditangkap mata, menggunakan kecepatannya ke titik buta Riel, Willem ingin mengakhirinya dengan satu tebasan tersebut.

Tetapi, dengan kecepatan yang seharusnya tidak bisa dihindari atau ditangkis. Riel merespon dengan membalikkan badannya dan menahan serangan Willem. Ia lalu mendorong pedang Willem dan melakukan serangan balik dengan mengayunkan pedangnya.

Dan Willem berhasil menahan serangan Riel, lalu dimulai lah suara logam yang saling berbenturan. Mereka tidak bergerak dari tempat mereka berdiri tapi mereka saling mengayunkan pedangnya dengan kecepatan tinggi.

*Clank!*

Mereka berdua melompat ke belakang untuk memperbesar jarak lalu kembali berlari, Willem yang mengenggam gagang pedangnya dengan kedua tangannya, mengayunkan pedangnya menyamping, tapi Riel menundukkan kepalanya dan pada saat ia pulih dari posisinya, ia mengayunkan pedangnya ke paha Willem.

Tetapi serangan tersebut tertahan saat Willem dengan cepat menancapkan pedangnya ke tanah di samping kakinya.

Pada saat yang bersamaan, Riel memutar tubuhnya menggunakan putaran rotasi dari pinggulnya untuk melancarkan serangannya yang mengarah ke leher Willem.

Dan pada saat yang bersamaan juga, Willem mencabut pedangnya dari tanah dan menambahkan tumpuan pada pedangnya dengan kedua tangannya untuk melakukan serangan akurat dan kuat ke leher Riel.

Bilah pedang mereka, yang memotong udara kosong, dengan kasar mengayun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Private Game Selesai

Winner : Peserta : Willem Ainsworth & Nea Vee Altina

Loser : Host : Riel White

 

*Atas kondisi di atas, game akan berakhir.

*Sandera berhasil diselamatkan dalam kurun waktu kurang dari 30 menit.

*Atas sumpah yang telah ditetapkan, kesepakatan harap segera diputuskan.

*Kepada para peserta, terima kasih untuk kerja keras kalian.

 

Masing-masing dari pedang mereka berhenti tepat di depan dan belakang leher mereka. Sebuah respon yang sangat tanggap saat pengumuman game selesai.

Willem dan  Riel melepas genggaman tangan mereka dari pedangnya lalu menjatuhkan tubuh mereka ke permukaan tanah.

Walaupun ini kekalahan pertama bagi Riel, entah kenapa ia sama sekali tidak menolak kenyataan dan tersenyum puas.

Mereka berdua yang terengah-engah berat benar-benar terlihat seperti seorang pendekar pedang yang telah menyelesaikan duel-nya.

Mereka berdua juga sama sekali tidak menyadari bangunan-bangunan kelabu di sekeliling mereka kini sudah berubah menjadi puing-puing tak berbentuk berkat ayunan pedang mereka.

“Ahahaha, aku tidak percaya diriku ini akan mengalami kekalahan seperti ini.”

“Ohh, benarkah? Jika kau sedikit lebih tinggi lagi mungkin aku bisa menang melawanmu.”

“Jangan bercanda, jika aku lebih tinggi justru aku akan menjadi pemenangnya.”

Mereka berdua tertawa serak, bersamaan dengan suara napas berat mereka, sekeliling kota mengeluarkan cahaya putih seakan-akan menghilang, dan setelah itu Riel dan Willem tiba-tiba berada di ruang makan mansion Willem.

Mereka masih dalam posisi tergeletak, tapi luka-luka dari tubuh mereka telah hampir sembuh. Willem sama sekali tidak tahu kenapa lukanya bisa beregenerasi dengan cepat, tapi mungkin saja ini efek dari kembali ke dunia aslinya?

Willem mengesampingkan pikiran itu dahulu.

Willem dan Riel bangun lalu duduk di atas kursi. Riel meletakkan sikunya ke atas meja sambil menopang wajahnya sambil ia melemparkan sebuah pertanyaan kepada Willem.

“Willem, lukamu sudah sembuh?”

Saat mendengar pertanyaan Riel, Nea tiba-tiba bereaksi dan mendekati Willem untuk menanyakan keadaanya,

“Willem, apa kamu tidak apa-apa?”

“Nn. Aku rasa ya, entah kenapa luka di pinggangku sudah menghilang.”

“Tenanglah, apa-apaan dengan sikapmu ini, apa kau ibunya, Nea?”

Riel tiba-tiba menyela pembicaraan mereka dengan sindiran. Mendengar itu, Nea duduk di kursi di samping Willem saat membalas.

“Aku bukan ibunya, aku …, kakaknya, ya aku seperti kakaknya Willem.”

“Heh?”

“Hah?”

Mendengar hal itu, Ethel dan Riel membeku sejenak. Riel mengetuk-ngetuk meja, saat ia berujar sambil menahan tawanya.

“Kenapa kaubisa berpikir begitu? Aku rasa umurmu masih terlalu muda untuk menjadi kakak Willem tahu.”

“Benar, saya setuju. Saya pikir hubungan Nea dan Willem itu hanya sebatas teman saja.”

“K-Kalian, lagi pula bagaimana kau tahu umur Willem?”

“Mudah saja, umurmu?”

“E-enam belas.”

“Dan umur Willem tujuh belas tahun, kenapa kau tidak membaca berkas murid pindahan yang diserahkan Felycia?”

“S-Soal itu …., tidak ada hubungannya, ‘kan!”

“Ada.”

“Ada.”

“Ada.”

Tiba-tiba mendengar suara ketiga yang berasal di sampingnya, Nea mengalihkan pandangannya ke Willem yang meletakkan kedua lengannya di dadanya.

“Willem, juga?”

“Hei, Nea. Aku pikir kau lebih cocok menjadi adikku, ya. Aku sempat membayangkan saat kau bilang, ‘kakak’ kepadaku dengan suara imut, Nn. Itu lebih cocok.”

“Benar, jangan lupa suruh dia pakai setelan goth loli.”

“Ahhh, ya ampun. Kalian Murid Bermasalah memang tidak bisa diharapkan.”

Merasa tidak ada yang membelanya, Nea hanya bisa pasrah dan memegang kepalanya. Dan demikian ketiga orang tersebut tertawa.

“Ngomong-ngomong, tentang hadiah para pemenang, itu siapa yang putuskan?”

Walaupun dirinya berada di posisi kalah, Riel menarik topik serius denagn senyuman ringan.

“Benar juga, Nea. Aku pikir kau yang berhak memutuskannya.”

Mendapat lirikan dari ketiga orang tersebut, Nea tidak punya pilihan lain selain pura-pura batuk, dan berkata sambil menyunggingkan senyum simpul.

“Riel White, kau tidak diperkenankan lagi untuk menganggu kami.”

“….”

Semua orang terdiam sejenak, sebelum Riel memiringkan kepalanya sambil berkata, “Hanya itu?”

“Y-Ya, hanya itu. Bukankah itu perjanjiannya sebelum kita membuat game?”

“Ya ampun, kau ini. Apa kau ingin memonopoli Willem sampai titik itu? Dan juga, aku bahkan tidak mengerti hal apa yang dimaksud dengan ‘menganggu’, bisakah kau memberikan hukuman yang lebih jelas? Jadi, tentang komunitas itu. Apa kau masih ingin membuatnya dengan Willem?”

Mendapat rentetan keluhan dari Riel yang seharusnya tidak perlu dia utarakan, alis Nea berdenyut hebat.

“… Aku akan ikut ke komunitas kalian.”

Mendengar Nea yang berkata dengan malu-malu, kedua laki-laki itu memasang ekspresi cerah, dan mata Willem melirik Ethel untuk memberikan isyarat.

“Dimengerti. Saya akan memasak hidangan makan malam untuk pesta kecil ini.”

“Permisi! Oh, Nea juga ada di sini ya. Willem, aku membawa seseorang yang ingin menumpang makan malam di sini.”

Neil tiba-tiba berkata dengan riang yang baru kali ini Willem lihat, di belakangnya terlihat seorang wanita, ia adalah Arin Ursula.

“Oh, Neil dan Kak Arin. Kebetulan sekali ya.”

Dan setelah itu, sembari menunggu Ethel memasak, Willem duduk di kursi di luar, di samping pintu masuk yang telah disiapkan Willem sendiri sambil memandangi langit.

Kabut pekat yang tadinya menutupi langit berbintang telah lenyap dengan sempurna. Mengangkat matanya pada langit berbintang, Willem menghirup udara segar sambil melihat bulan purnama yang baru lewat sehari dari masa purnama sepenuhnya.

“Kamu sedang apa?”

Duduk di meja tersebut, Nea mengeluarkan sebuah rubi dari saku jasnya dan memperlihatkannya kepada Willem.

“Apa itu?”

“Ini batu permata sihir. Ini lumayan langka dan mahal loh.”

“Hooo. Dari mana kau dapatkan itu?”

“Aku mendapatkannya dari game Riel tadi.”

“Aku mengerti. Tolong lupakan pertanyaanku tadi.”

Nea tertawa pelan lalu tersenyum saat ia menjelaskan, “Aku bercanda, aku meminjam batu ini dari Riel untuk memperlihatkan sesuatu yang menarik untukmu.”

“Apa?”

Nea tidak membalas dan masih menyunggingkan senyum tipis di bibirnya, lalu ia pun mengusap batu tersebut sambil berujar, “Menyebarlah.”

Dan beberapa saat setelah Nea merapalkan mantra tersebut, batu yang dipegang Nea mengeluarkan cahaya biru, walaupun batunya berwarna merah, batu tersebut mengeluarkan cahaya biru yang nyaman.

Cahaya tersebut semakin melebar mengelilingi Willem dan Nea lalu berhenti saat cahaya tembus padang tersebut membentuk kubah, mengeluarkan butiran cahaya transparan di area tersebut. Cahaya transparan itu seakan-akan butiran bintang yang berkelap-kerlip muncul di depannya.

Bagi Willem yang pertama kali melihat ini hanya bisa mendesah kagum dengan mata yang sudah berbinar-binar penasaran, Tiba-tiba salah satu butir cahaya melesat menabrak butir cahaya lain dan mereka pun saling memantul, jejaknya mirip seperti bintang jatuh yang sangat indah.

“Sihir sintaksis.”

“Hmm?”

“Ini namanya sihir sintaksis. Untuk membuat benda sihir yang bagus kamu perlu mengatur dan menanamkan bahan-bahan yang akan kamu tanamkan. Kamu tahu, butiran cahaya itu adalah bahan tersebut, kamu bisa menyentuhnya jika kamu mau.”

Tanpa pikir panjang Willem menyentuh salah satu butiran cahaya tersebut, dan tiba-tiba cahaya itu melesat menabrak butiran cahaya lain seperti yang Willem tadi lihat.

“Yang kamu sentuh tadi adalah orichalcum, lalu yang ditabraknya itu adalah adamantine, lalu itu ada batu zamrud, rubi, ametis, spinel, bukan hanya batu permata saja loh, ada mantra khusus, dan jimat yang sudah tertanam juga.”

Melihat Nea yang menjelaskan sihir sintaksis dengan ceria, Willem hanya bisa menahan tawanya lagi saat melihat Nea yang bertingkah seperti seorang guru lagi.

Di mata Willem, sisi wajah Nea yang bercahaya tampak cantik, mata rubinya yang indah berkilau di bawah cahaya rembulan.

“Itu menganggumkan.”

“Hmm?”

Di bawah kilau cahaya kebiruan, Nea yang terselimuti cahaya menoleh saat bibirnya mulai terkatup.

“Maksudku benda sihir itu, aku tidak menyangka ada benda terkeras, dan logam langka dalam sebuah rubi. Aku penasaran bahan apa saja untuk membuat sebuah kipas kertas dan pedang.”

“Eh? Kenapa kamu menanyakan hal itu?”

“Tidak, bukan apa-apa. Kaubisa lanjutkan.”

“Tidak. Ini sudah selesai, aku rasa Ethel sudah selesai menyiapkan hidangannya. Ayo.”

Pada saat yang sama saat Nea berkata demikian, cahaya tembus pandang tadi menyusut dan kembali ke dalam batu rubi itu, lalu Nea pun mengulurkan tangannya sambil menyunggingkan senyum manis.

“Baiklah, saatnya kembali ke komunitas bermasalah itu , ‘kan?”


Akhirnya Bab 3 dari seri ini selesai juga fwuhh, saya nggak tahu kapan rilis bab 4 nya, tapi saya akan usahakan secepatnya.

Sekali lagi, terima kasih banyak buat pembaca dari LN ini!

Sampai jumpa lagi di Laskar Anime Indonesia!

Yuu Natsume

 

Comments

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More