Murid-Murid Bermasalah Ingin Membuat Komunitas Bermasalah? – Bab 1

Murid-Murid Bermasalah Ingin Membuat Komunitas Bermasalah? – Bab 1 [Bagian 2]


Bagian 2

Wahh, aku lupa memberitahu mereka. Ada roh yang keluar saat Willem merapal sihir, yah terserah. Mereka mungkin bisa menanganinya.”

Ether berkata sambil menaikkan bahunya dengan suara acuh tak acuh. Setelah itu—

Kembali ke Nea dan Willem yang baru tersadar. Mereka membuka kedua matanya, pemandangan halaman belakang rumah dapat mereka lihat dengan jelas. Nea lalu menghela napas panjang sebelum melepas genggaman tangannya pada Willem, tanpa berkata apa-apa. Nea duduk di atas kursi seraya melepas kacamata dan menyimpannya di atas meja.

Willem mendekati Nea dan bertanya dengan ragu-ragu.

“Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan situasinya, jadi, apa yang terjadi?”

Nea meregangkan badannya kuat-kuat lalu menghela napas ringan sambil menatap Willem dengan tatapan kesal sembari berkata:

“Kamu tahu? Yang kamu lakukan tadi itu sangat berbahaya.”

Willem terdiam sebentar, ia masih ingat jelas yang tertulis di buku. Cara yang ia lakukan untuk memanggil roh, untuk mencari tahu elemen yang paling cocok dengannya. Ia yakin kalau ia melakukannya dengan baik walaupun tanpa melihat buku lagi, tapi karena Nea bilang yang Willem lakukan sangat berbahaya. Willem berpikir, apa sihir tingkat tinggi itu seberbahaya ini? sampai-sampai Nea menunjukkan ekspresi kesal kepadanya.

“Sihir yang tadi kamu rapalkan, adalah sihir pemanggil roh. Bukan untuk mencari tahu elemen, tapi roh yang digunakan untuk pertarungan. Kenapa aku menyebutnya berbahaya? Karena jika kamu tidak menjalin kontrak dengan roh terlebih dahulu, maka jiwamu akan dilenyapkan. Maka dari itu kita harus meminta maaf kepada Ether, karena ia yang memegang kendali atas elemen di dunia.”

Nea berkata dengan ekspresi sedikit serius selagi tangannya menahan kepalanya

“Tapi, bukankah cara terakhir itu paling efektif? Merapal sihir summon untuk mengatahui elemen yang cocok untuk kita?”

Nea menurunkan alisnya dan bibirnya yang tipis terbuka sedikit, ia lalu mengambil buku tadi dan membaca halaman yang menjelaskan pemanggilan roh. Tiba-tiba Nea membelalakkan matanya terkejut dan berteriak kecil yang ditahan.

Nea menunjukkan buku yang ia pegang dan menunjuk ke bekas robekan kertas di halaman yang tadi Willem baca, Willem lalu menganggukan kepalanya. Akan tetapi dia masih memasang ekspresi bingung, lalu ia mengambil buku yang dipegang Nea dan membacanya selagi berujar:

“Jadi, ada halaman yang hilang?”

“Kamu mungkin tadi salah lihat dan malah menggunakan sihir summon, aku tidak tahu kamu membaca dari mana sihir summon dipakai untuk mengetahui elemen yang cocok, tapi—”

Nea menjawab dengan murung, ia menurunkan alisnya lebih dalam lagi dan menundukkan kepalanya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Dia pasti merasa bersalah ya ….

Willem berpikir begitu karena sudah sedikit mengerti dengan sifat Nea, ia menenangkan Nea dengan mengatakan kalau ini bukan salahnya. Tapi Nea masih merasa bersalah.

“Kalau saja aku memeriksa dahulu bukunya, nyawamu pasti tidak akan dalam bahaya.”

Willem tersenyum lalu berkata sambil mengusap rambut Nea dengan lembut:

“Tenanglah, walaupun itu karena kesalahanmu, tapi kau menyelamatkanku lagi ‘kan?”

“… Huh?”

Nea mengangkat kepalanya dan melihat Willem, lalu Willem berkata dengan nada kasual:

“Ahh, benar juga. Bukankah kauakan mengambil teh di dapur? Setelah itu ayo kita lanjutkan pelajarannya.”

“Baik!”

Ekspresi Nea kembali cerah, ia berdiri dari kursi dan berjalan menuju dapur. Willem tersenyum saat melihat Nea pergi, lalu Willem melihat kembali buku tadi dan membacanya dengan ekspresi serius.

Ini aneh, tadi jelas-jelas aku membaca sihir summon dipakai untuk memanggil roh biasa.

TIDAK, bukan itu masalahnya, aku masih ingat kalau buku yang tadi aku baca tidak ada satu pun halaman yang robek.

Jadi, ada seseorang yang merobek halaman di buku ini, tapi untuk apa dia melakukanya?

Willem berpikir sambil memegang dagunya, lalu ia menyimpan buku dan menyimpulkan kalau itu hanyalah candaan seseorang. Ia lalu duduk di kursi dan menikmati cahaya matahari yang hangat dan memejamkan matanya.

Beberapa jam yang lalu, aku baru saja bangun dari tidur dan tidak mengingat masa laluku sendiri.

Willem menghela napas selagi membenarkan posisi duduknya tanpa membuka matanya. Memang benar, ia baru saja bangun dari tidurnya dan langsung mengalami kejadian yang tidak terduga. Ia hampir saja kehilangan nyawanya dan sekali lagi ia diselamatkan oleh Nea.

Willem merasa ia terlalu banyak bergantung kepada Nea, padahal ia baru saja mengenal Nea beberapa jam lalu.

Ketika matahari perlahan naik ke langit dan intensitas sinar matahari yang menyinari bumi mulai meningkat, Willem membuka matanya dan di sampingnya ia melihat Nea yang terduduk di atas kursi kayu putih sambil menyesap teh. Melihat Willem yang terbangun, Nea berkata sembari tersenyum hangat:

“Kamu pasti kelelahan, aku baru saja membuat teh bunga krisan. Apa kamu mau? Satu gelas teh mungkin bisa mengembalikkan semangatmu.”

Willem tersenyum dan menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Nea menuangkan teh bunga krisan ke cangkir, tapi Willem tidak mengambilnya dan hanya berbicara dengan nada murung serta kedua matanya menatap ke bawah.

“Untuk seseorang yang tidak mempunyai latar belakang yang jelas … kau sudah banyak menolongku, terima kasih.”

Akhirnya, Willem mengatakan apa yang ingin ia katakan dengan sepatutnya. Mendengar itu Nea sedikit terkejut lalu membalas dengan senyuman simpul dan tidak berkata apa-apa.

Mengambil cangkir dan mengangkatnya, Willem menyesap teh bunga krisan sambil menikmati suasana yang tenang.

“… Rasanya, sangat enak.”

Willem bergumam.

“Terima kasih.”

Nea menjawab sambil tersenyum sipit setelah menyesap teh bunga krisan. Setelah itu, Nea berdiri dan berkata dengan semangat seraya mengambil kacamata dan memakainya.

“Baiklah, kita lanjutkan pelajaran tentang sihir dasarnya.”

Willem mengangguk dengan semangat.

“Emm.”

Willem berdiri setelah menghabiskan teh bunga krisan dan menyimpan cangkir di atas meja. Lalu Nea mulai membuka mulutnya perlahan dan berujar dengan ekspresi dan nada ceria:

“Pada dasarnya, sihir dibagi menjadi dua.”

—Sihir elemen.

Seperti namanya, sihir ini menggunakan elemen-elemen di alam semesta. Untuk permulaan, kamu bisa memanggil sihir api, air, tanah, angin dan lain-lain. Tapi, kamu bisa melakukan improvisasi, seperti menyatukan elemen air dan api untuk membuat uap. Itu juga tergantung komposisi kamu menyalurkan sihir lebih banyak ke elemen apa … kalau begitu aku berikan contoh.

Nea merentangkan tangannya ke depan dan membuka kepalan tangannya. Beberapa saat kemudian, api kecil muncul dari telapak tangan Nea. Melihat itu Willem menjadi bersemangat.

“Api ini bisa membesar atau mengecil sesuai energi sihir atau mana yang kamu salurkan dari tubuhmu.”

“Energi sihir?”

“Energi sihir itu kapasitas stamina manusia, jadi biasanya energi sihir seseorang itu berbeda-beda, ada yang sedikit dan hanya bisa mengeluarkan sihir dasar, dan ada yang mempunyai kapasitas energi sihir yang sangat besar. Itu tergantung orangnya.”

“Hmm hmm.”

Willem menganggukkan kepalanya dengan semangat, Nea tersenyum selagi melanjutkan penjelasannya:

“Kamu juga bisa menaikkan suhu tertentu dalam elemen, sebagai contoh aku akan membuat api dingin dan yang sangat panas.”

Mendengar itu, Willem menahan napasnya dan menatap Nea dengan mata berbinar penuh semangat.

Api di tangan Nea secara perlahan berubah warna, dari merah cerah menjadi oranye dan semakin memudar. Nea melihat mata Willem dan tersenyum sambil mengelurkan tangannya.

“Sentuhlah.”

“Ehh?”

Willem mulai mengangkat tangannya dan mendekat ke tangan Nea tanpa rasa takut, saat tangan Willem menyetuh api, bukannya perasaan terbakar atau apa. Willem merasakan tangannya hangat dan ia juga dapat merasakan suhu api yang semakin turun, api itu seolah angin hangat yang melewati tangannya.

“… Apinya lembut.”

“Sekarang aku akan menaikkan suhunya, turunkan tanganmu.”

Willem menurunkan tangannya sementara Nea menaikkan tinggi-tinggi tangannya ke atas. Beberapa saat kemudian, api mulai berubah menjadi merah dan membesar seiring waktu. Api yang dibuat Nea membentuk bola sepeti miniatur matahari, atmosfir menjadi sangat panas dan angin berhembus sangat kencang ke belakang.

“Suhu yang dibuat dapat meningkat seiring kamu berlatih, untuk sekarang aku baru dapat membuat api ber suhu 5.500°Celcius.”

“… Hebat.”

Willem semakin kagum dan bersemangat, lalu tiba-tiba api yang dibuat Nea menghilang seperti ledakan kecil yang ditelan angin. Pada saat yang sama, Nea tersenyum manis dan membuat Willem tersipu.

Menurunkan tangannya, Nea mulai berujar kembali:

“Biasanya, elemen yang paling dominan adalah elemen yang paling mudah dikembangkan oleh penggunanya, seperti aku yang berelemen api.”

“Aku mengerti, tapi aku punya pertanyaan Guru.”

“Huh?”

Nea tiba-tiba menundukkan kepalanya dan terlihat pipinya yang putih sedikit memerah saat mendengar Willem yang tidak sengaja memanggilnya “Guru”.

“Apa sihir elemen tidak menggunakan rapalan kalimat?”

Nea mengangkat kepalanya melihat Willem, menyunggingkan senyum simpul dan menaikkan jari telunjuknya sejajar dengan kepalanya, ia berkata:

“Tergantung, sihir yang tadi aku pakai adalah sihir dasar. Sedangkan untuk beberapa sihir, menggunakan rapalan kalimat untuk memanggilnya. Tapi sihir dasar jika dikembangkan bisa lebih kuat dari sihir rapalan lima kalimat sekalipun, sihir dasar biasanya digunakan untuk  kehidupan sehari-hari sampai pertarungan.”

Willem menganggukkan kepalanya pelan. Membuat sihir dasar menjadi sihir tingkat tinggi, bagi Willem itu adalah hal yang menakjubkan.

Juga, jumlah sihir yang digunakan secara langsung berhubungan dengan berapa lama perapalannya berlangsung. Jumlah formula dan formasi dalam formasi sihir juga mengatur kerumitan dan skala efeknya.

Ada konsep yang dapat dihilangkan sesuai “Atribut” yang dimiliki, sebagai contoh Nea memiliki atribut api, ia dapat melewati rapalan atau konsep yang rumit dalam penggunaan sihir api.

“Untuk beberapa kasus, kamu harus membayangkan bentuk sihir apa yang ingin kamu buat.”

Sebagai contoh, Nea membayangkan wujud api dalam pikirannya alih-alih menyebutkannya. Ia dapat membayangkan wujud yang diinginkannya, ada juga kasus yang berbeda. Contohnya, Nea membayangkan air, ia dapat mewujudkannya dan memvisualisasikannya ke realita tanpa menyebutkannya atau menulisnya, karena sihir dasar tidak perlu membuat formula sihir dan memikirkan formasi sihir yang rumit.

Berbeda lagi kalau Nea berniat merapalkan mantra tingkat tinggi yang bukan elemen utamanya, saat ia akan memanggil badai angin. Ia harus memikirkan formasi sihir dengan konsep dasar; atribut, kekuatan, jarak, jangkauan, dan penggunaan mana. Bisa saja hal lain ditambahkan ke dalam formula untuk menambah keefektifan sihir yang digunakan.

“Untuk beberapa sihir, ada yang harus digambarkan formasi atau pola sihirnya, dan ada juga yang instan.”

Untuk sihir yang digambarkan, biasanya itu digunakan untuk memanggil sihir tingkat yang sangat tinggi, biasanya sihir tingkat tinggi itu membutuhkan bahan tertentu dan lebarnya pola sihir sangat berpengaruh.

Untuk kasus Willem saat memanggil roh, itu adalah sihir yang lumayan rumit bahkan sambil melihat contoh dibuku. Dan untuk Nea yang menggunakan sihir yang membuat jiwanya pergi ke dunia berbeda, itu adalah sesuatu yang lebih kompleks dan rumit dibandingkan sihir lainnya, walaupun Nea terlihat sangat mudah menggunakannya.

“Sekarang aku akan mencampurkan beberapa elemen, untuk membuat sihir baru.”

Pada saat Nea menaikkan kedua tangannya, api muncul ditelapak tangan kanan Nea, di sisi lain. Tangan kiri Nea mengeluarkan aura kehijauan seperti pusaran angin.

Willem memasang ekspresi kagum. Selagi menjelaskan, Nea mendekatkan kedua tangannya.

“Untuk mengaturnya, kamu harus bisa mengatur penggunaan mana yang tepat. Aku mengatur kekuatan api sebesar 15%, sedangkan angin 5% maka yang akan terjadi adalah.”

Saat kedua telapak tangan Nea saling menyentuh, api dan angin bersatu membentuk pusaran api kecil. Pusaran api itu terlihat sangat lemah, melihat itu Willem mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata:

“Bagaimana kalau kekuatan yang diberikan sama?”

“Kalau begitu, aku akan menaikkan kekuatannya ke 50%.”

Api perlahan membesar bersamaan dengan pusaran angin yang semakin berputar cepat. Pusaran api yang tadinya kecil dan lemah menjadi lebih besar dan kuat, pusaran api itu berputar di tangan Nea dengan tenang.

“Jika kekuatan yang diberikan sama, maka mereka akan saling mendukung. Tapi jika kekuatan yang diberikan tidak seimbang, kasusnya seperti tadi, sekarang aku akan menurunkan kekuatan api sampai 5% dan angin 25%.”

Dengan ajaibnya, pusaran api menghilang digantikan dengan pusaran angin biasa. Nea tersenyum selagi berkata:

“Kamu boleh menyentuh anginnya.”

Willem mengangguk seraya menaikkan tangannya. Pada saat tangan Willem menyetuh angin, ia menunjukkan ekspresi terkejut.

“Anginnya … hangat.”

“Emm, walaupun api yang terlihat sudah menghilang, tapi efeknya masih dapat dirasakan. Maka dari itu, kamu harus pintar-pintar memainkan komposisi elemen yang tepat untuk membuat sihir yang unik.”

Dan untuk kasus yang berbeda, orang-orang juga dapet menambah elemen yang diinginkan. Menambah satu sampai lima elemen ataupun lebih, itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, lebih sulit juga mengatur komposisi dan mana yang akan dikeluarkan.

Jika gagal, sihir itu tidak akan bekerja dengan baik dan akan menjadi kegagalan. Dan jangan lupakan pembayangannya juga, untuk penyihir ahli membuat sihir dengan formasi 3 elemen itu sudah biasa. Akan tetapi membayangkan sihir yang akan dibuat itu jauh lebih sulit, maka dari itu kebanyakan orang akan menggunakan rapalan kalimat untuk membuat sihir 3 elemen ke atas. Akhirnya—

“Untuk hari ini itu saja, lain kali aku akan mengajarkanmu tentang sihir pribadi atau non elemen. Walaupun masih banyak yang harus dipelajari.”

“Terima kasih Nea, tadi sangat mudah dipahami. Aku akan mempelajari ilmu sihir lebih dalam lagi nanti.”

Nea mengangguk dan tersenyum, melepas kacamatanya dan menghela napas lega. Ia lalu berujar sambil tersenyum simpul:

“Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu ke ruangan Kepala Sekolah Akademi Sihir Altheria.”

“Baiklah.”

Mereka berdua kembali ke dalam rumah. Matahari sudah mulai condong ke arah barat dan intensitas cahaya matahari mulai menurun, setelah bersiap-siap. Mereka berdua berjalan melewati perkarangan rumah Nea yang lumayan luas dan kebun bunganya yang terurus dengan baik. Melihat itu Willem berpikir kalau Nea adalah seorang bangsawan yang sangat kaya raya.

Jarak antara rumah Nea dengan sekolah berjarak sekitar 500 meter, jarak yang lumayan jauh jika dibandingkan dengan asrama wanita. Nea memilih tinggal di rumah yang disediakan sekolah untuk menjaga privasinya, walaupun Nea terlihat sangat baik dan perhatian tapi mungkin saja  Nea mempunyai rahasia yang tidak ingin diketahui siapa pun.

Mereka berdua berjalan berdampingan sambil sesekali berbincang tentang sekolah, dan saat Nea menyinggung soal “Sepuluh Penyihir Elit” Willem bertanya

“Siapa mereka?”

“Seperti yang aku bilang tadi, mereka adalah orang-orang yang dianggap kuat oleh sekolah. Penyihir yang memiliki nilai S itulah mereka, walaupun sebenarnya sistem sekolah tidak menilai seseorang berdasarkan kekuatannya.”

“Eh, kalau bukan berdasarkan kekuatan … lalu apa?”

Willem mengernyitkan alisnya bingung, sementara Nea tersenyum pahit sembari menundukkan kepalanya dan berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar:

“… Tantangan.”

“Huh?”

Nea mengangkat kepalanya seolah ia baru saja dikagetkan.

“Ahh, bukan apa-apa. Nilai itu tidak penting, yang paling penting adalah kamu bisa bertahan dan melewati ujian-ujian yang sangat sulit di Akademi Sihir Altheria nanti.”

Willem mengangguk sekaligus berkata dengan riang:

“Baiklah! Aku akan berjuang.”

Dan akhirnya perjalanan Willem di Akademi Sihir Altheria akan dimulai. Entah apa yang akan terjadi nanti, Willem tidak akan mundur. Memanfaatkan nyawa yang telah diselamatkan Nea dengan baik, dan mungkin mencari tahu siapa ia sebenarnya sebelum kehilangan ingatannya.

Mereka sampai di depan gerbang sekolah. Dari dalam, tampak kelas-kelas dan berbagai ruangan yang besar. Lorong-lorong yang menyambung keseluruh area sekolah, pandangan murid tertuju pada sosoknya dan di sampingnya. Dia tidak mempedulikannya dan berjalan berdampingan dengan Nea.

Ketika Willem melihat sekelilingnya, dia menyadari bahwa mereka berada di sebuah aula besar. Seluruh bangunan dibuat putih, mulus, dan berkilau, ruangan itu memiliki pilar-pilar yang dipahat dengan indah untuk menahannya, dan langit-langitnya dibuat dengan cara yang sama. Aula tersebut memiliki nuansa yang sangat tenang.

Mereka akhirnya sampai di depan pintu ruang kepala sekolah. Sebuah pintu kayu berwarna kopi yang lumayan besar dengan desain yang membentuk bulan di tengah dan beberapa ukiran rumit di sampingnya.

Melihat satu sama lain, Nea tersenyum selagi tangannya membuka pintu ruang kepala sekolah dan mendorongnya perlahan sambil berkata dengan suara yang sopan:

“Permisi.”

Saat pintu terbuka, Willem dapat melihat tumpukan buku-buku yang sangat tinggi sampai-sampai hampir mengenai langit-langit,Willem pikir hanya dengan satu hentakan kecil dapat membuatnya runtuh dan menelannya ke dalam lautan buku.

Tepat di depan matanya, ia melihat seseorang wanita—tidak seorang gadis yang terduduk di atas kursi putih dan di depannya terdapat meja yang lumayan besar dengan deretan buku yang menumpuk sangat tinggi bahkan melebihi tingginya.

Sosok itu terlihat sangat misterius, dengan mata yang tertutup dan posisi tangan berada di atas buku dengan tulisan Braille.

SD? Tidak SMP?

Willem menyimpulkan begitu, saat melihat sosok gadis itu. Rambutnya yang sedikit panjang  berwarna putih ditahan dengan jepit bulan. Mengenakan gaun hitam yang berlawanan dengan warna rambut dan kulitnya. Mengangkat kepalanya dan melihat Willem dan Nea tanpa membuka matanya.

Suasana menjadi semakin berat bagi Willem, lalu gadis itu mengarahkan pandangan kepalanya ke Willem, membuka matanya perlahan. Willem langsung dapat merasakan suasana menjadi berubah, warna matanya yang semerah darah menatap Willem dengan ekspresi yang sangat dingin. Tatapan matanya membuat seluruh tubuh Willem merinding, ia dapat merasakan temperatur yang tiba-tiba turun drastis.

“Willem, ‘kan?”

Sebuah suara yang sama seperti suara anak-anak pada umumnya, tapi Willem dapat merasakan suara yang penuh kewibawaan. Ia mengangguk lalu berkata dengan pelan.

“… Ya, kenapa kau tahu namaku?”

Si gadis menutup matanya dan memposisikan kedua tangannya yang jari-jemarinya saling bertautan di bawah dagunya lalu tersenyum, selagi berkata:

“Tentu saja aku tahu.”

Setelah menutup matanya, suasana menjadi kembali hangat dan tekanan yang Willem rasakan sudah menghilang. Melihat Nea seolah memberi perintah, Nea menganggukan kepalanya dan berjalan keluar ruangan lalu menutup pintu.

“Namaku Felycia, aku adalah Kepala Sekolah Akademi Sihir Altheria. Mungkin kau berpikir kenapa aku menutup mataku, yah jawabannya karena aku tidak bisa melihat.”

Willem sangat terkejut saat itu juga, walaupun Felycia tidak bisa melihat tapi dia masih bisa dapat merasakan kehadiran Willem dan Nea. Dia pasti orang yang sangat hebat.

“Aku dapat merasakan kehadiranmu melalui aliran mana di tubuhmu menggunakan sihir jika kau penasaran, dan Nea memberitahuku kemarin. Kau ditemukan Nea di ujung timur lingkungan sekolah ‘kan? Itu sih sudah biasa, tapi dengan adanya sihir kuno yang menjadi penghalang dan tanpa sepengatahuan guru … Itu adalah hal yang sangat jarang terjadi, intinya. Siapa kau?”

Setelah menerima pertanyaan yang berbelit-belit, Willem menjawab dengan senyuman pahit.

“Yah, sepertinya aku terkena amnesia, aku hanya mengingat namaku, Willem, itu saja.”

“Ohh, begitu. Maaf tidak sopan. Jadi, sekarang kau berniat untuk masuk ke akademi sihir ini?”

“Ya.”

“Kalau begitu, selamat datang di Akademi Sihir Altheria. Asistenku akan menunjukkan rumahmu dan menyiapkan keperluan untuk sekolah, atau kau mau tinggal di asrama pria?”

Felycia yang berujar dengan nada yang ramah membuat Willem sedikit nyaman dan melupakan tatapan dingin tadi yang menghilang seperti gelembung sabun. Lalu saat ia akan menjawab pertanyaan Felycia, Felycia bertanya terlebih dahulu:

“Atau jangan-jangan kau ingin tinggal dengan Nea?”

“Ahh, tidak apa-apa. Aku akan tinggal di rumah yang sudah disiapkan saja, aku tidak ingin merepotkan Nea lebih banyak lagi.”

Willem tersenyum sambil menggelengkan kepala saat berkata demikian. Hal itu membuat Felycia tersenyum dan berujar:

“Baiklah, aku akan menunggu prestasimu di sekolah ini, Willem.”

Setelah berkata begitu Felycia menurunkan kedua tangannya dan mengambil buku di sampingnya. Willem menunduk sopan lalu pamit dan berjalan keluar ruangan kepala sekolah. Sesampainya di depan pintu, ia membuka pintu dan menariknya pelan.

Di depan matanya, ia melihat Nea yang tersenyum manis menatapnya dengan mata merah rubi miliknya. Willem membalas senyuman Nea dan berjalan menjauhi ruang kepala sekolah.

Sementara di ruang kepala sekolah, Felycia sedang membaca buku dengan tulisan braille sembari bergumam kepada dirinya sendiri:

“Akademi Sihir Altheria. Di sekolah ini, kau tidak memerlukan jabatan, latar belakang atau apa pun untuk masuk. Cukup dengan keterampilan sihir, kau sudah diperbolehkan untuk menikmati suasana salah satu sekolah paling bergengsi di seluruh dunia. Tapi dengan tingkat kelulusan yang kurang dari 10%, menjadikkan murid-murid yang tidak berkompeten menjadi batu loncatan untuk calon penyihir hebat. Peraturan-peraturan yang unik, dan ujian-ujian yang sulit siap menanti kalian. Baiklah … sekarang, Willem … Apa kau bisa bertahan?”

Disepanjang lorong sekolah, di mana temboknya yang semuanya terbuat dari marmer dan berwarna putih dengan corak rumit. Willem berjalan berdampingan dengan Nea. Di sana, mereka menjadi pusat perhatian murid-murid yang sedang beristirahat.

Para murid berbisik-bisik sembari menatap mereka berdua, memang isu tentang Willem belum tersebar luas. Tapi melihat seseorang yang belum pernah terlihat sebelumnya di Akademi Sihir Altheria. Membuat para murid sedikit penasaran, dan berpikir kalau ada murid baru yang direkomendasikan oleh Nea vee Altina.

Willem tahu, kalau ia sekarang jadi pusat perhatian. Tapi alasan utama ia menjadi pusat perhatian mungkin karena adanya Nea disampingnya, Willem berpikir begitu setelah beberapa kali mendengar nama Nea yang disebutkan oleh para murid.

Dan saat mereka berhasil keluar dari area gedung sekolah, dengan gerakan yang elegan dan anggun bak seorang putri raja. Nea membungkuk untuk menundukkan dirinya selagi berkata:

“Aku minta maaf, Willem. Aku harus mengerjakan sesuatu di luar sekolah, jadi aku akan meninggalkan sekolah untuk beberapa hari ini.”

Melihat hal itu, Willem tidak tahu harus bereaksi bagaimana dan berujar sambil menggaruk pipinya dengan jari telunjuknya:

“Ahh, tidak apa-apa Nea. Yah, mulai dari sini, aku akan mencoba hidup mandiri.”

Mengangkat kepalanya dan mengernyitkan alisnya sedih, Nea sekali lagi meminta maaf.

“Maaf ya, padahal aku sudah berjanji untuk mengajarimu sihir dasar lainnya.”

“Ya, terima kasih banyak Nea. Karena sudah banyak membantuku, ngomong-ngomong. Apa kau tahu di mana asisten Kepala Sekolah Felycia?”

Menaikkan alisnya dan tersenyum simpul, Nea berkata dengan nada ceria:

“Ahh, soal itu. Dari sini, kamu hanya perlu berjalan kaki ke arah barat daya nanti kamu bisa bertemu dengannya di sana.”

“Begitu, ya. Kalau begitu, sampai jumpa.”

Willem berjalan mundur sambil melambaikan tangannya lalu membalikkan badannya dan berjalan sesuai petunjuk Nea. Dari belakang Willem, terlihat Nea yang melambaikan tanganya sambil tersenyum hangat.

“Emm, sampai jumpa lagi.”

Setelah mendengar itu, Willem menyunggingkan senyum. Sekarang, perjalanan Willem di Akademi Sihir Altheria baru saja dimulai.

Sejak ia diselamatkan oleh Nea, ia selalu bergantung kepada Nea. Willem sadar kalau dia bukanlah siapa-siapa bagi Nea. Bagi Nea, Willem hanyalah orang asing yang ia selamatkan dan ia kenal selama beberapa jam lalu.

Willem berpikir begitu sebelumnya, tapi setelah sedikit mengenal sifat Nea. Ia tidak lagi berpikir begitu dan menganggap siapa pun yang Nea selamatkan adalah temannya.

Sifat terlalu baik Nea itu memang sedikit naif, mungkin saja orang yang dia selamatkan itu nanti akan menjadi orang jahat yang akan mengkhianatinya. Tapi, Nea tidak mempedulikan itu dan mungkin berkata, “Yah, hanya waktu yang bisa menjawabnya,’kan?”

Seperti itulah Nea, dan sekarang Willem harus hidup tanpa terlalu banyak bergantung lagi kepada Nea. Lalu setelah beberapa kali mengingat obrolannya dengan Nea, dia terdiam sejenak.

“Sepuluh Penyihir Elit, ya …”

Willem bergumam kecil yang hanya dapat didengar olehnya sendiri.

Berjalan di sepanjang jalan setapak, Willem akhirnya tiba di sebuah area terbengkalai yang tak berpenghuni, dan dengan segera ia waspada oleh suara keras dari rumah yang nampak masih berdiri kokoh.

Menepuk-nepuk debu dan pasir yang menutupi tubuhnya ketika membuka dan melewati pintu yang sudah melapuk, ia mengangkat alisnya dengan terkejut.

“Suara apa itu …?”

Menembus melewati beberapa pintu yang sudah melapuk, ia mempercepat langkah menuju arah keributan tersebut. Karena tempat ini kelihatan tidak berpenghuni, seharusnya tidak ada seseorang yang tinggal di sini.

Tempat terbengkalai ini tidak terpakai karena terlalu jauh dengan area gedung sekolah, tidak ada jejak-jejak baru dari kehidupan manusia yang tertinggal di tempat ini. Rumahnya memang terlihat seperti mansion besar dan masih berdiri kokoh, tapi siapa pun akan berpikir dua kali untuk tinggal di sini.

Melihat kondisi rumah yang terlihat sangat kotor dan gelap sampai-sampai perampok yang sedang mengalami masa-masa sulit , tidak akan berpikir untuk datang ke sini.

Sebuah rumah yang dulunya sangat diidam-idamkan murid, menjadi terbengkalai karena jarak dengan sekolah terlalu jauh.

“Suara apa itu tadi?”

Dengan hati-hati Willem berjalan tanpa suara mendekati area tersebut ketika suara tadi berlanjut.

Baiklah, itu adalah sosok yang terlalu cantik untuk seorang perampok.

“Sedikit lagi ….”

Si pelaku akhirnya menampakkan dirinya sendiri.

Sebuah sosok seorang gadis dengan tinggi sekitar 160cm, matanya berwarna biru cerah seperti es dan rambut putihnya yang sangat panjang sampai pada lututnya. Kulitnya sangat putih dan hampir pucat, ia memakai hakama dengan gaun pelayan putih panjang, dan dibawah alisnya yang tipis tampak mata yang memancarkan cahaya hangat.

Selagi mengangkat beberapa bangku, gadis itu mengalihkan pandangannya perlahan dan melihat Willem selagi tersenyum hangat.

Willem dapat melihat jelas wujudnya sekarang, di dekat telinganya terdapat jepit rambut membentuk kristal salju. Ia masih menyunggingkan senyum hangat, lalu pada saat Willem akan membuka mulutnya.

“Tunggu sebentar ya, saya sedang membereskan rumah ini.”

Gadis itu berbicara dengan sangat sopan dan saat kau mendengarnya, kau bisa merasakan suara yang penuh keceriaan dan keramahan yang berasal dari bibir gadis itu.

“Aku juga akan membantu.”

Tersadar dari lamunannya, Willem berjalan mendekati si gadis dan membantunya membereskan rumah.

Dan setelah beberapa jam membereskan sekeliling rumah, akhirnya—rumah yang tadinya tidak layak huni. Sekarang sangat bersih dan menjadi rumah idaman, dinding yang tadinya berwarna kelabu kini sudah berwarna biru cerah.

Willem menyadari kekuatan si gadis tentang kebersihan itu sangat menyeramkan, itu ia pikirkan saat melihat beberapa barang yang rusak terlihat seperti baru kembali. Seperti, kasur, kursi, meja, piring, sendok, dan lainnya.

“Terima kasih untuk bantuannya.”

Si gadis berjalan mendekati Willem sambil tersenyum ceria selagi membawa segelas air dan memberikannya ke Willem lalu duduk di atas sofa di samping Willem.

“Ya, sama-sama.”

Setelah berkata, ia lalu meminum air yang diberikan si gadis dengan satu tegukan. Tampaknya, membersihkan seluruh rumah membuat Willem sangat kelelahan. Melihat itu si gadis tersenyum dan berujar:

“Saya sudah siapkan bak mandinya, Tuan Willem bisa memakai kamar mandi dahulu.”

Willem memekik kaget saat dipanggil “Tuan” oleh si gadis, tidak lebih dari itu. Mungkin ia lebih terkejut saat si gadis menyebutkan namanya..

“Ahh, aku terlalu kelelahan untuk menanggapinya.Terima kasih, aku akan mandi terlebih dahulu.”

“Ya.”

Si gadis membalas dengan lembut.

Willem berdiri setelah menyimpan gelas di atas meja, ia lalu berjalan dengan langkah pelan ke belakang rumah.

Saat sampai, ia melihat bak mandi yang lumayan besar, walaupun tidak sebesar di rumah Nea.

Itu seperti pemandian terbuka, Willem bersyukur bisa mendapat rumah seperti ini. Tentu saja ini juga berkat si gadis yang membereskan rumah sebelum Willem datang.

Langit sudah kehilangan cahaya matahari, sekarang giliran bulan dan bintang yang menerangi langit malam.

Melepas pakaiannya dengan perlahan, ia mulai melangkahkan kakinya menuju kolam dan memejamkan matanya setelah duduk menyandar ke batu besar yang berada di tengah kolam.

Oh, aku lupa menanyakan siapa dia. Yah, mungkin saja dia asisten Kepala Sekolah Felycia. Saat ini, aku sudah bertemu dengan empat perempuan yang hebat, Nea, Ether, Kepala Sekolah Felycia, dan gadis tadi.

Aku jadi penasaran, apa laki-laki di sekolah ini sangat hebat seperti gadis-gadisnya?

“Wahhh, pemandian ini benar-benar nyaman ya.”

Willem membuka matanya terkejut, suara yang berada di belakangnya dapat ia dengar dengan jelas. Menaikkan alisnya sembari berdiri, ia melihat ke belakang batu.

“Yo!”

Seseorang laki-laki tampan tingginya mungkin lebih tinggi dari Willem, rambutnya yang pirang sedikit acak-acakan karena basah. Laki-laki itu duduk menyandar di batu sambil menyapa Willem seraya tersenyum.

“….”

“….”

Mereka terdiam.

Duduk di sisi lain batu, Willem menatap langit malam yang cerah.

“Jadi, siapa kau?”

Willem bertanya dengan suara kasual dan pandangan matanya masih menatap langit. Sosok laki-laki itu tersenyum sipit lalu berdiri selagi berjalan menuju sisi kolam dan duduk di tepian.

“Aku Neil Schneider, siswa kelas dua Akademi Sihir Altheria dengan rank C.”

Mengamati sosok Neil, Willem tersenyum dan berkata.

“Oh begitu? Salam kenal, kak Neil. Aku Willem, aku akan menjadi murid pindahan baru mulai besok.”

“Oh, jadi kau murid baru itu? Ahahaha, wahhh. Aku kira tahun ini tidak akan ada murid pindahan lagi.”

“Begitukah? Hahahaha.”

Hanya dengan beberapa kali bertukar kata, sekarang mereka sudah terlihat seperti seorang teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Lalu pada saat mereka saling berbicara dan tertawa, Neil tiba-tiba menunjukkan ekspresi serius dan berkata:

“Willem, apa kausudah tahu peraturan-peraturan di sekolah ini?”

Willem terdiam dan menunjukkan ekspresi terkejut. Ia baru menyadari, kalau ia masih belum tahu apa-apa tentang Akademi Sihir Altheria. Informasi yang ia dapat dari Nea, masih belum menjelaskan peraturan-peraturan sekolah secara rinci. Ia hanya mendengar, Akademi Sihir Altheria mempunyai peraturan unik dan ujian yang sulit.

Lalu, saat Willem akan membuka mulutnya berniat bertanya kepada Neil. Neil terlebih dahulu berkata sambil berjalan keluar dari kolam:

“Yah, nanti juga kau akan tahu.”

Willem mengatupkan bibirnya dan sedikit menundukkan pandangan matanya.

“Ngomong-ngomong, kak Neil. Kenapa kau bisa ada di sini?”

Membalikkan badannya, Neil berkata sambil menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum bodoh.

“Sebenarnya, aku tadi sedang berlari kecil mengelilingi seluruh area sekolah. Lalu saat aku melihat pemandian terbuka, tanpa sadar aku melompat ke dalam dan langsung berendam.”

“Eh?”

Willem yang mendengarkan perkataan tersebut mengeluarkan suara kebingungan.

Walaupun Willem belum mengetahui pasti luasnya area sekolah ini, tapi ia tahu kalau sekolah ini sangat luas. Memikirkan ‘mengelilingi’ seperti yang dikatakan Neil membuat Willem sedikit bingung dan bertanya:

“Memangnya, untuk apa kak Neil mengelilingi sekolah?”

“Untuk menikmati suasana sekolah tentu saja.”

“O-Ohhh.”

Willem tidak bisa berpikir apa-apa lagi.

“Kalau begitu, aku akan melanjutkan lariku. Sampai jumpa lagi, Willem!”

Setelah berkata begitu selagi memakai seragam sekolahnya kembali dengan sempurna, Neil melompat melewati pagar yang lumayan tinggi. Willem terkejut, karena melihat Neil yang bisa melompat setinggi itu.

Setelah itu, Willem berdiri lalu berjalan ke luar kolam.

Kakak kelas yang lumayan aneh.

Setelah membersihkan tubuhnya dan berkeramas, Willem menggelengkan kepala, menyingkirkan air yang menempel di rambutnya. Berbalik lalu memakai pakaiannya kembali dengan sempurna dan keluar dari kamar mandi.

Lalu, saat beberapa langkah dari kamar mandi. Di ruang tengah, lebih tepatnya di belakang sofa. Gadis tadi berdiri menatap Willem sambil menyunggingkan senyum hangat.

Dan saat Willem melihat senyuman itu, entah kenapa ia merasa tidak asing. Jadi, Willem bertanya seraya mendekat ke si gadis.

“Hei, siapa kau?”

Si gadis masih tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan Willem.

Kini Willem sudah berada tepat di hadapan si gadis, gadis itu menyunggingkan senyum yang sangat nakal dan kurang ajar lalu menarik tangan Willem dan menjatuhkannya di atas sofa.

Tekanan empuk dapat Willem rasakan di punggungnya dan di dadanya. Sekarang Willem berada tepat di bawah si gadis.

“Aku baru menyadari ini, ternyata Tuan Willem itu sangat tampan ya?”

“…”

Willem mengedipkan matanya tiga kali untuk mengevaluasi ulang gadis cantik yang berada begitu dekat, sehingga mereka bahkan dapat merasakan napas satu sama lain pada wajah mereka.

Tapi sebenarnya ia tahu siapa gadis itu. Fitur wajah yang indah, meskipun mengenakan hakama ditambah gaun pelayan putih, masih mungkin membentuk tubuh sempurna, dan meskipun sebagian besar darinya ditutupi pakaian tebal, itu tetap memberikan pesona tersendiri.

Laki-laki biasa akan mabuk oleh kecantikan semacam itu pada jarak dekat.

Tapi Willem sekarang hanya ingin tahu saja, siapa gadis yang ada di hadapannya, dan kenapa sifatnya berubah  sangat cepat, sehingga dapat mengatasi pikirannya yang lain.

“Siapa kau?”

Willem mengulang kembali pertanyaaanya, si gadis semakin menaikkan bibirnya selagi berkata dengan nada mengeluh:

“Dasar tidak sopan. Apa kau sudah lupa pada wanita yang kau buat menangis? Atau apakah kau membuat semua wanita yang kau temui menangis?”

Setelah mendengar sindirannya, Willem ingat. Karena hanya ada satu orang saja yang menangis di hadapan Willem, walaupun ia tahu kalau tangisan itu palsu dan hanya mencari empati Nea.

“Kau Ether? Tapi, bukankah kau ada di dunia lain? Tidak bukan itu masalahnya, wujud yang kau rasuki ini, siapa?”

“Hahh … Sebenarnya aku bisa saja datang ke dunia paralel mana pun yang aku inginkan, tapi aku hanya tidak mempunyai alasan-alasan tertentu saja. Dan kalau kau bertanya tentang tubuh ini, tentu saja ini hadiah yang aku sebutkan, ‘kan? Hmmm, bagaimana ya … kau bisa menyebut dia adikku, atau kembaranku. Terserah maumu, sekarang dia sudah menjadi milikmu.”

“… Hah?”

Willem melebarkan matanya terkejut.

“Maksudmu, kau membuat gadis ini dan mengirimnya ke duniaku?! Ah tunggu, tunggu. Kau adalah perwujudan dari dunia Etheria kan? Apa kau bisa membuat kehidupan seperti ini?”

Meletakkan jari telunjuknya kanannya di dekat bibirnya, ia menaikkan alisnya selagi berujar dengan ragu:

“Tentang itu …, memangnya kenapa? Aku akan kembali ke Etheria, aku serahkan Ethel kepadamu. Oh satu hal lagi, Ethel tidak bisa memakai sihir, tapi dia bisa menjadi asistenmu atau apalah itu. Dahh  ….”

Beberapa saat kemudian setelah Ether mengatakan itu di atas tubuh Ethel, keluar seberkas cahaya berwarna abstrak yang sangat rumit dan bahkan Willem baru melihat warna semacam itu yang meluncur ke langit menembus atap ruangan dan menghilang sekejap mata.

Pada saat yang sama, Ethel tiba-tiba terjatuh pada dada Willem dan beberapa saat kemudian ia membuka matanya kembali lalu bangkit seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya, dan dari pandangan matanya yang kabur. Di hadapannya, ia melihat Willem yang tersenyum.

“Ehh …”

Terlihat dari kulitnya yang pucat memerah, jadi sangat jelas sekali kalau Ethel tersipu. Dan dengan segera bangun dari tubuh Willem dan berdiri di samping sofa sambil meletakkan kedua tangan di perutnya dan menundukkan kepalanya.

“Saya minta maaf, Tuan Willem.”

Willem berdiri lalu mendekati Ethel, jari-jemarinya yang kaku bertautan semakin erat ketika Willem mendekat.

“Ethel, ‘kan?”

“Iya.”

Rambut putihnya yang berkilau jatuh dari bahunya saat semakin menundukkan kepalanya.

“Tidak usah dipikirkan, dan satu hal lagi. Tolong jangan memanggilku dengan panggilan ‘Tuan’ kau bisa memanggilku Willem.”

Willem berucap sambil tersenyum, dan Ethel menunjukkan ekspresi linglung. Beberapa saat kemudian, ia mengangkat kepalanya dan bibirnya membentuk senyuman.

“Kalau begitu, Wi … Willem.”

“Nm, itu lebih baik.”

Willem mengangguk sambil tersenyum selagi mengusap rambut Ethel pelan. Ethel memejamkan matanya merasakan kenyamanan saat rambutnya diusap Willem.

“Kalau begitu, aku akan tidur dan beristirahat. Rumah ini memiliki banyak kamar kan? kau bisa memakai salah satunya.”

Selagi berkata begitu, Willem berjalan menuju lantai dua dan membuka pintu kamar setelah melewati beberapa pintu kamar lainnya.

Saat Willem duduk di tepian kasur yang hanya cukup untuk satu orang dan tidak terlalu mewah seperti kasur Nea. Ia memikirkan betapa luar biasanya kekuatan yang Ether punya.

Itu karena, Ether bisa membuat kehidupan berdasarkan contoh darinya dan mengirimkannya ke dimensi yang berbeda dengan mudah. Hal yang tidak masuk akal, dapat dengan mudah ia lakukan seperti membalikkan tangan.

Willem juga berpikir, kalau itu pun bisa terjadi. Apa konsep kehidupan dan kematian pada Ether itu berlaku? Memikirkannya saja sudah membuat Willem kebingungan.

Merebahkan tubuhnya di atas kasur yang lumayan empuk, dan membenamkan kepalanya di atas bantal. Ia menatap langit-langit selagi memikirkan kejadian-kejadian yang baru saja ia alami hari ini.

“Ini hari yang sangat panjang untuk seseorang yang baru saja bangun dan tidak mengingat apa-apa.”

Hari ini dia bertemu dengan Nea, Ether, Kepala Sekolah Felycia, Neil, dan Ethel.

Hari ini juga dia baru saja mempelajari konsep sihir elemen dari Nea dan masuk ke Akademi Sihir Altheria.

Saat memikirkan itu, Willem lupa pada satu hal.

Sial, aku lupa mencari asisten Kepala Sekolah Felycia.

Dan kehidupan Willem yang baru di Akademi Sihir Altheria dimulai dengan kecerobohan.

Comments

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More